#03: tentang hidup yang cukup
27 Maret 2021
Halo,
apa kabarmu? Lagi berakhir pekan ya? Lama ga bertukar kabar yaa kita. Semoga dirimu dalam keadaan sehat dan bahagia saat menerima suratku ini. Sejak jurnal akar wangi kedua terkirim, banyak sekali sebenarnya naik turun yang terjadi dalam hidupku.
Ga lama setelah jurnal kedua, aku sempet bener-bener kehilangan motivasi – entah dari mana datangnya perasaan segelap itu. Padahal aku pikir, berhasil melalui 2020 adalah prestasi juga bensin buat menghadapi 2021 yang sudah aku prediksi bakal sama susahnya. Tapi ternyata modal yang aku kumpulkan selama 2020 ga cukup buat bawaku menerjang tahun ini dengan tenang. Untungnya, aku dikelilingi lingkungan juga orang-orang yang kuat. Mungkin salah satu keistimewaan dalam hidupku yang paling aku syukuri selama pandemi ini, adalah hal ini.
Awalnya aku ngobrol banyak sama Ben untuk membantuku mengurai perasaanku, apakah ini bosan, kehilangan semangat untuk berkarya, lelah atau demotivasi akut? Kalau bosan dalam berkarya, menurut Ben itu sih hal yang normal dan bahkan penting dalam proses berkarya. Justru kadang dari kebosanan, atau kondisi ‘idle’, muncul inovasi dan karya-karya baru yang segar sebab ia adalah karya yang lahir setelah mengalami waktu. Di era media sosial hari ini malah bisa dibilang bosan jadi sebuah kemewahan, kapan sih kita benar-benar bosan, diam, hening, tanpa perlu mengisi kekosongan dalam diri kita dengan endless scrolling yang ujung-ujungnya bikin kita jadi merasa insecure? Hahaha. Bener juga kupikir-pikir.
Tapi sepertinya aku ga merasa bosan dengan berkarya, malah lagi semangat-semangatnya. Aku sepertinya cuma bingung untuk mengekspresikan dan melepaskan berbagai macam emosi yang selama setahun kemarin terendapkan. Apakah aku sedih, marah, kecewa, bingung, bahagia, nrimo, atau memang datar-datar aja? Akhirnya aku memaksakan diri untuk gerak, mencari ruang dan rutinitas baru (dalam segala keterbatasan yang ada) untuk memberi jeda antaraku dan emosi-emosiku. Sampailah aku pada olahraga squash. Ternyata, ga aku sangka, rutin seminggu sekali squash sangat membantu kesehatan fisik juga mentalku. Di aspek mentalnya itu sepertinya karena squash melibatkan gerakan memukul ke arah tembok yang efektif banget buatku sebagai gerakan katarsis (melepaskan) buatku yang sehari-harinya ga terlalu banyak emosi. Selain itu, karena aku dan Ben ga jago-jago banget, kegiatan squash kami lebih banyak salah mukul, adegan-adegan Dono (Ben ngarahin bola ke pantatku, aku hampir nembak jidat Ben, dst dst), ketawa-ketiwi sampai guling-guling di lantai, atau teriakan kata-kata kasar yang menggaung kencang yang saking kasarnya kayanya kalau kerekam di video bisa viral hahaha. Ternyata ada juga jenis terapi yang serupa namanya terapi teriak. Setelah rutin squash sebulan, aku perlahan merasa sangat membaik tanpa aku pikirin kapan perbaikan itu datang. Ga lama setelah itu, kesibukan kerjaan dan pengerjaan rilisan terbaruku mulai padat dan akhirnya, unthinkingly, aku kembali stabil lagi.
Kalau kamu sendiri gimana? Sempet ngerasain hal yang sama ga dan gimana kamu kembali mencari semangatmu lagi? Jika berkenan, boleh berbagi di bawah video squashku ini ya (yang menurutku lucu banget tapi kok ga banyak yang nonton ya jadi ga lucu deh hahaha), siapa tau kita bisa berbagi siasat dalam menghadapi pandemi ini. Jujur, aku kadang masih takut kalau suatu saat momen gelap itu datang menghantuiku lagi. Dan sebenernya aku yakin, dia pasti datang lagi...
#dalamsatumenit 01: bikin album via squash
Oya, surat ini sampai di kotak pesanmu dari sebuah perjalanan.
Udah beberapa waktu ini aku dan Ben lagi dalam perjalanan dalam rangka merampungkan rilisan musik berikutku. Sayangnya sekarang aku belum bisa cerita banyak tentang perjalanan ini... tapi satu hal yang berkesan dari perjalananku sejauh ini, adalah ketika aku ngobrol dengan beberapa anak muda di sebuah desa di Jawa Tengah perihal arti ‘cukup’. Setelah ngobrol panjang dengan mereka, dan mendengarkan perspektif mereka soal arti kecukupan atau hidup yang cukup, aku tidak bisa berhenti berpikir: apa ya arti cukup buatku? Beberapa tahun ini memang aku jarang sekali melihat hidup sebagai suatu kekurangan (tentu dengan segala privilese yang kupunya aku pikir sangatlah wajar dan patut jika aku merasa demikian), tapi jarang juga aku mendapatiku berpikir untuk mengejar keberlimpahan, sampai di titik terkadang aku merasa bukan cukup tapi kayanya kurang kerja keras. Hm… jangan-jangan, aku cuma malas. Hahaha. Entahlah. Di mana batas antara cukup dan pasrah?
Tapi... aku jadi kepikiran lagi kata-kata anak-anak muda yang aku ketemui kemarin. Terutama ketika salah satu di antara mereka bilang ke aku,
“Cukup itu memahami peran kita di kehidupan ini dan menjalankannya dengan hati yang merdeka.”
Aku rasa untuk saat ini, itu cukup.
Salam hangat dariku yang masih di perjalanan,
hara