1 September 2021
Halo.
Apa penyesalan terbesar dalam hidupmu?
Kalau aku sebenarnya berusaha sekali untuk ga menyimpan banyak penyesalan, malah kalau bisa sih hidup tanpa penyesalan yang berarti supaya semakin terlepas juga dari penderitaan-penderitaan yang aku bikin sendiri. Tapi kalau misalnya harus kujawab, mungkin penyesalanku adalah kurang baca. Sewaktu kecil aku sebenernya lumayan suka baca (kayanya mataku minus banyak gara-gara baca Harry Potter malem-malem tanpa lampu, bahkan sampe terobsesi gambar bekas luka gledek di jidat hahaha), tapi kegemaran dan juga kedisiplinanku membaca justru berkurang ketika masuk kuliah, haha. Ironis juga ya. Kadang aku menyesal saat kuliah aku ga terlalu rajin baca, terutama membaca hal-hal di luar pelajaran kuliah, dan ketika sekarang aku tersendat untuk mengutarakan/menuliskan apa yang ingin aku utarakan dengan jernih, aku sering kilas balik ke masa-masa itu dan menyesalinya.
Kebiasaan ini tentu sedikit berubah setelah aku kembali melanjutkan sekolah S2. Mungkin karena banyak waktu untuk diri, atau karena akses ke perpustakaan yang sangat mudah, atau memang New Zealand tempat yang paling sempurna untuk tenggelam dalam keheningan, di sana gairah membacaku kembali lagi. Tapi sekembalinya ke Indonesia, aku ga bisa menjaga ritme membacaku dan malah bener-bener kehilangan keinginan membaca sepenuhnya. Sungguh menyedihkan, mungkin setahun cuma baca kurang dari 5 buku! Akhirnya mulai 2021, aku memulai rutinitas baru. Setiap hari, spesifiknya setiap sore jam 4-5pm, harus baca selama 1 jam. Apapun itu, tapi diutamakan buku. Meskipun masih bolong-bolong, ternyata lumayan membantu, dan paling terasa ke daya imajinasi yang perlahan semakin hidup. Semenjak mulai baca buku (fiksi terutama), kadang kalau lagi bengong-bengong tiba-tiba sering kepikiran ide cerita buat film (hm agak sotoy ya), buat lagu, atau proyek-proyek artistik lainnya. Seru juga. Kalau kamu lagi baca buku apa?
Blind Spot - Teju Cole
Ngomong-ngomong soal baca, baru-baru ini aku membaca kembali sebuah artikel lawas nan legendaris, mungkin salah satu tulisan musik paling menarik yang pernah aku baca. Tulisan ini direkomendasiin temanku, Rio, sewaktu kami lagi writing retreat untuk sebuah proyek riset bersama (terima kasih Rio!). Judulnya Dewa dari Leuwinanggung. Sebuah tulisan karya Andreas Harsono tentang Iwan Fals. Mungkin ini jadinya kalau jurnalis investigasi menulis tentang seorang figur publik dan kompleksitasnya sebagai manusia sekaligus dewa. Sungguh tulisan sangat sangat menggugah.
Baru-baru ini aku juga diwawancarai oleh Manual Jakarta tentang Kenduri dan perjalanan hara. Aku suka sekali wawancara ini, Felix Martua, jurnalisnya, benar-benar melakukan risetnya sebelum wawancara dan baru kali ini di wawancara musik aku ditanya pertanyaan-pertanyaan super reflektif seperti: Apa yang kamu maksud dengan kematian? Mengapa kita harus peduli dengan Ibu Bumi? Jadi, hara itu siapa? Kalau belum sempat membaca, kamu bisa baca wawancaranya di sini ya.
Selain mengisi waktu dengan membaca, aku juga lagi rajin dengerin podcast lagi (ya aku lagi banyak waktu nih di rumah meskipun jadwal kerja lagi agak padat, ini semua karena aku lagi ga terlalu aktif bersosmed). Berhubung belum bisa aktif rekam podcastku sendiri (aku lagi suka sekali dengerin Key Notes. Salah satu episode yang berkesan adalah episode yang membahas tentang musik dan kematian, berjudul Does Death Have a Sound?
Mungkin banyak musisi yang menghindari kajian tentang musik yang lebih dalam dengan alasan takut jadi terkondisikan saat proses produksi musik, tapi aku justru malah bisa mengapresiasi musik dengan perspektif baru setelah mendengarkan/membaca kajian-kajian yang lebih dalam soal musik. Apa mungkin memang aku sedang mencari, apa arti musik buatku hari ini? Di Key Notes, hostnya sering membahas bagaimana musik mempunya kekuatan untuk membantu kita ‘make sense of the world’, baik itu melalui kata-kata, pengalaman sonic, maupun keseluruhan pengalaman musikal itu. Aku kira itu ada benarnya. Selama pandemi, ga jarang aku berpulang ke musik untuk mencari ketenangan, mungkin ga secara spesifik mencari jawaban, tapi lebih ke sebuah ruang untukku bisa menemukan apa yang sedang atau sedang tidak ingin aku hadapi.
Musik juga jadi caraku untuk melepaskan perasaan-perasaan yang berantakan dan terkubur di dalam. Aku baru benar-benar meresapi peran musik yang ini, ketika beberapa waktu lalu aku sempat menyanyikan ulang sebuah tembang Malaysia berjudul Keroncong Hujan (OST Mukshin) dalam sebuah gig virtual yang penyelenggaranya komunitas seni dari Malaysia. Setiap hari selama seminggu setelah gig itu, tiada hari tanpa aku menyanyikan Keroncong Hujan di rumah sampai akhirnya saat hujan benar-benar turun, tubuh dan pikiranku bersepakat untuk merekam lagu itu saat itu juga. Setelah lagu itu aku unggah di Youtube dan Soundcloud, rasanya, ada sesuatu yang lepas, dan di saat yang bersamaan, ada sesuatu di dalam diriku yang terisi. Perasaan ini aku sadari betul di hari itu. Musik memang penuh misteri dan sepertinya aku jatuh cinta pada musik karena masih begitu banyak yang belum bisa aku pahami tentangnya.
Adibah Noor - Keroncong Hujan (OST Mukshin) - Cover by hara
Selain cover Keroncong Hujan, ada juga beberapa video live session yang terunggah di Youtube.
hara - Tembang Tandur & Akar Wangi (live session)
hara - Kebun Terakhir (live session)
Oya, jadi pengen sedikit curhat. Mengobservasi perjalanan musikku sejauh ini, seringkali umpan balik yang aku terima tentang suara dan musikku itu adalah ‘adem’ atau ‘teduh’. Di awal-awal berkarir di musik, rasanya seneng sekali menerima umpan balik positif apapun. Tentu, karena semuanya terasa baru. Dibilang lumayan atau ga fals aja rasanya seneng banget dulu hahaha. Tapi belakangan, aku kok merasa kurang puas ya kalau dikomentarin adem atau teduh? Rasanya, seperti ada banyak lapisan dalam karyaku yang tereduksi (tentu ini respons yang sangat subyektif dan baper dari si pembuat karya hahaha). Naah, tiba-tiba hari ini aku tertampar oleh sebuah postingan dari seorang bhikku yang aku follow di Instagram. Beliau menulis begini tentang 'teduh':
“kalau kita harus mencari pelajaran lain dari pohon, di luar sejuta manfaatnya untuk kehidupan, sekurang-kurangnya, jadilah pohon yang tumbuh dan memberikan kesejukan bagi tiap-tiap anak manusia yang datang untuk singgah. tidak harus menjulang, asal rindang dan mengakar. pun tidak soal kalau tidak menghasilkan buah segar nan menyehatkan.
Buddha mengatakan orang yang jasanya (amal) terus meningkat adalah, salah satunya, mereka yang mau melestarikan hutan (SN. 1.47). karena pelestariannya memberikan begitu banyak manfaat. orang tetap akan mencari dan merasakan nyaman meski berangkat cukup dengan satu alasan yang nyata. teduh. rindang.
mari merefleksikan keteduhan dalam bentuk lain dari sisi kita sebagai manusia, yaitu kebaikan.
guru SMA saya menamai dua anaknya Teduh dan Rindang. laki-laki dan perempuan. nama adalah bersitan doa dalam bentuk lain. doa yang hidup. sesuai dengan arti dari tiap istilah tersebut, beliau menaruh harap kelak putra-putrinya akan tumbuh besar dan memeberi kesejukan untuk orang-orang sekitarnya. menjadi pribadi yang menaburkan kebahagiaan di sana-sini. penuh damai juga mendamaikan.
semoga kebaikan hati kita kian bertumbuh seiring dengan angka usia yang terus bertambah. mengakar dan menjulang. menular dan terkenang."
Mungkin menjadi teduh adalah sebuah berkah, dan akupun hanya bisa berharap: semoga.
Bertolak ke Selatan mencari energi yang lebih besar dariku: Laut.
Merekam dan menabung suara-suara entah buat apa.
"We know about these beautiful waters that have death in them."
Sebagai penutup, sesuai janjiku, pembaca jurnal akar wangi (PJAW? Sedulur Jawi? Akar wangi mania? Hahaha) adalah orang-orang pertama yang mendapat kabar tentang hara. Kabar kali ini adalah soal rilisan kaset perdanaku yang akan dirilis besok, Kamis, 2 September 2021! Dicetak terbatas, dengan tanda tangan, dilengkapi lirik, song credits dan exclusive photo card (!!), ditambah sebuah mimpi lamaku yang akhirnya tercapai: liner notes ditulis oleh seorang perempuan yang sangat aku kagumi. Hanya tersedia di Kios Ojo Keos (bisa cek Tokopedia mereka) dan The Store Front Club! Semoga ga kehabisan :)
Kenduri (cassette tape) - first press!
A photo card? 👀
The BTS shot. Apakah palugada akan membawa kesuksesan lebih atau hanya kesengsaraan yang lebih?
Oya. Akan ada sesuatu yang lahir di hari Jumat ini 🥀
Salam hangat,
hara