#08: tentang kehilangan
31 Desember 2021
Halo.
Apa kabar dirimu? Semoga semuanya baik-baik saja ya. Semoga masih bertahan di ujung tahun yang gila ini. Lagi sibuk apa belakangan? Adakah hal yang bikin kamu bersemangat menyongsong tahun baru yang akan datang… besok? Ga kerasa ya 2021 udah selesai. Entah apa aja hikmah atau pelajaran yang bisa aku pribadi petik setahun ke belakang, tapi yang jelas, tahun ini banyak sekali ‘kejadian’ dalam hidupku. Mungkin, dalam hidupmu juga.
Setelah aku mengirimkan jurnal akar wangi terakhir di mana aku mencoba mengulas yang terjadi di bulan Juli dan Agustus, rasanya duniaku berjalan sangat cepat (meski ada banyak hari-hari yang terasa sangat lambat, atau lebih tepatnya, seperti berjalan di tempat). Mungkin karena di satu sisi, banyak sekali hal baru yang aku alami, tapi di lain sisi, masih banyak hal-hal yang ga bisa aku miliki. Ya sewajarnya hidup sebenernya, tapi kadang di pikiran kita lebih-lebihkan aja ya haha. Manusia memang suka sok kompleks :’)
Soal hal baru, September lalu rilis sebuah lagu kolaborasi antara aku dan Oom Iwan Fals yang berjudul Bunga Kayu.
Kolaborasi yang ga ketebak sebenarnya. Dengan lagu yang ga ketebak juga kehadirannya dalam hidupku. Menjadi sebuah hadiah di tengah tahun yang aneh ini. Lagu ini ditulis oleh Oom Iwan tahun 1995 untuk anaknya, Galang Rambu Anarki (almarhum), informasi yang baru kutahu beberapa menit sebelum rekaman (dan bikin beban rekaman naik 1000%). Waktu pertama kali dikirim demonya sama Cikal, kebetulan kondisi aku lagi gelap-gelapnya. Aku ingat, waktunya pagi menuju siang, aku lagi di depan laptop, segelas kopi hitam yang panasnya masih ngebul di sebelah kiriku, sambil mencoba mengerjakan hal-hal perintilan untuk mencari arti aja (buang spam di email, delete email-email marketing, isi-isi kalender dengan rencana-rencana ga pasti, dst). Lalu aku putarlah demo itu, masih versi Oom Iwan dan Tante Yos (FYI versi ini so cute~). Saat itu, tanpa tahu konteks yang melatari lagu ini, cerita yang melahirkan lagu ini, entah gimana di saat itu juga rasanya tembokku runtuh. Ada yang meretakkan di lagu ini, dan ternyata orang-orang yang agak keras sepertiku pun ga sanggup mempertahankan bentengnya di hadapan lagu ini.
Kamu yang sedang bimbang
Duduklah di situ
Tinggalkan yang kemarin
Di beranda
Sejujurnya aku ga nyangka kalau aku bisa sebegitu terdampaknya oleh sebuah lagu yang bisa dibilang sangat sederhana, komposisi maupun liriknya. Mungkin ini soal kesederhanaannya. Mungkin ini soal waktu. Mungkin ini soal Rasa. Apapun itu, lagu ini mengingatkanku bukan untuk melupakan yang terlalu berlalu, melewatkannya begitu saja, tapi melepaskan kemelekatanku pada segala yang sudah. Wejangan ini, (yang mungkin ga pernah dimaksudkan menjadi sebuah wejangan oleh Oom Iwan sendiri) akhirnya menjadi bekalku menjalani bulan-bulan setelahnya, dengan jadwal yang padat di tengah pandemi, manggung virtual, mengisi webinar, diskusi, wawancara, riset, sampai ikutan reality show hahaha hidup ini absurd tapi menarik juga. Begitulah. Pandemi benar-benar bikin aku belajar menerima bahwa satu, hidup itu erat dengan ketidaksempurnaan, tidak semua yang kita inginkan akan tercapai sesuai dengan harapan kita, dan dua, menerima ketidaksempurnaan itu sebagai bagian dari hidup yang terus berjalan adalah sebuah upaya seumur hidup. Apakah aku perlu berterima kasih pada pandemi?
Lalu datanglah hari itu. 6 Oktober 2021. Aku kehilangan seorang teman baik, seorang mentor, seorang guru, seorang yang aku kagumi karya, pemikiran serta keberpihakannya. Secara tiba-tiba. Aku, kita, kehilangannya untuk selamanya. Namanya Gunawan Maryanto. Kami memanggilnya Mas C (Cindhil). Mas C meninggal bukan karena Covid, tapi karena serangan jantung. Mas C menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang begitu muda, 45 tahun.
Aku sebenarnya baru kenal Mas C tahun 2018, dikenalkan oleh teman baikku Ultramen, yang adalah partner (ciee partner, Men) Mas C. Tapi sejak itu, setiap kali ke Jogja, aku selalu menginap di rumah Mas C. Mas C selalu membuka rumahnya untukku dan Ben, meminjamkan motor mio merahnya yang udah kalau ngegas rasanya kaya mundur untuk kita pakai selama di Jogja hahaha sampe kita selalu bercanda, motor Mas C itu cuma diservis kalau kita pinjem. Demo hara (waktu itu nama foldernya masih LARA hahaha) direkam di rumah Mas C, bersama Pepi, kami merekamnya menghadap dinding di kamar tamu yang ada ACnya, dan berhenti rekaman setiap maghrib-isya karena masjid dekat rumah ngajinya sampai jam 11 malam. Di rumahnya, diskusi dan ketawa bisa tentang apa aja, tentang lirik-lirik indie yang ngawur (saking insecurenya aku langsung cek lirik-lirikku sendiri dan minta diperbaiki oleh Mas C kalau ada yang kadung salah HAHA), tentang seni dan aktivisme, tentang hidup, tentang kebatinan, ditemani koleksi buku puisi dan novelnya yang banyak, beberapa langka, membaca Wing Kardjo, bersama KBBI dan tesamoko yang menemaniku merampungkan lirik untuk lagu-lagu hara. Selama aku dan Pepi rekaman, Mas C duduk di luar kamar, membaca atau mengetik dalam hening, merokok, ngopi meski udah larut malam, sesekali mencuri dengar rekamanku dan Pepi, mungkin memeriksa dan sesekali tertawa, itu kayanya salah deh liriknya hahaha.
Mungkin satu hal yang sangat sangat aku rindukan dari Mas C adalah kehadirannya sebagai teman diskusi tentang apa saja. Umpan balik untuk pertanyaan-pertanyaan naifku tentang dunia seni, budaya, karya, selalu mencerahkan, bijaksana, dalam namun tetap kritis. Baru-baru ini aku menonton beberapa film menarik, membaca sebuah buku menarik, mengalami suatu hal baru yang menarik, sering rasanya aku bilang ke Ben, aku pengen tanya deh kira-kira pendapat Mas C apa ya? Lihat fenomena sinetron viral di TikTok, rasanya pengen cerita ke Mas C, mungkin kalau kita semua lagi di rumahnya, udah bikin parodinya, direkam untuk kesenangan pribadi sambil kita tonton ulang-ulang di hp kalau ada hari-hari yang sendu. Ah… kehilangan. Ini adalah kehilangan teman dekat yang pertama kali untukku. Ternyata rasanya seperti ini. Dukanya bentuknya seperti ini. Ga kebayang ke depannya, masih akan ada banyak lagi.
Hal tersulit dari duka ini adalah tahu dan yakin bahwa aku akan dan harus terus berjalan. Hidup akan terus berjalan. Tanpanya. Tapi batinku menolak untuk melupakannya. Aku ga ingin sedikitpun darinya terlupakan oleh waktu. Aku ga ingin duka ini hilang, karena aku merasa ketika duka ini perlahan memudar, maka kehadirannya pun akan memudar dan menghilang dari hidupku, dari keseharianku.
Di hari aku mendapat kabar Mas C pergi, aku sedang di tengah jadwal shooting. Masih sisa 1 hari lagi. Setelah aku kuat-kuatin diri sampai selesai kerja, di hari terakhir sebelum pulang, paginya aku sempatkan diri ke Pantai Sindhu, di Sanur, Bali. Ini salah satu pantai yang aku sukai. Energi lautnya sederhana, biasa saja, tapi rasanya purba. Di sana, aku mencoba melarungkan semua yang aku rasa. Bentuknya seperti apa? Nangis sambil setengah badanku terendam air. Jangan harap visualnya seperti di drakor-drakor, karena pas kejadian, banyak nelayan lalu-lalang dan orang tua olahraga pagi kebingungan hahaha. Tapi karena aku terlalu fokus sama kesedihanku, semuanya terasa kabur, jadi latar jauh di belakang.
Sebelumnya aku sempat menulis ini di jurnalku, sambil diliatin si mbok yang abis nganter pesanan flat white jumboku karena mukaku sembab ga karuan.
Beberapa minggu lalu aku mencoba membuat, merangkai sesuatu untuk Mas C. Tapi ternyata aku belum cukup berjarak dengan duka ini. Lalu aku taruh kembali gitarku, tutup lagi jurnalku dan biarkan kalimat-kalimat yang tertulis di sana tidak selesai. Semoga sesuatu bisa lahir untuknya karena aku benar-benar tidak akan mengizinkan waktu melupakannya.
Sebulan setelah kepergiannya aku baru bisa nyekar ke makam Mas C. Setelah sekian lama, akhirnya nginep di hotel selama di Jogja.
2022 akan datang. Besok lebih tepatnya. Dan luka-luka kita akan hidup bersama kita, menjadi bagian dari diri kita di masa kini dan nanti. Seperti bopeng di wajahku yang sulit disembuhkan, lubang-lubang di kulit wajahku ini memberi ruang untuk diisi, dengan kata-kata, komentar miring pakde bude dan para netizen, kalimat motivasi tentang self-love, inner-beauty, hingga keberserahan dan penerimaan diri yang baru kusadari datangnya setelah ia sudah mengisiku diam-diam. Kita menyadari kosong adalah isi, setelah kita kembali kosong lagi.
Jadi, apa hal yang paling kamu inginkan di tahun 2022? Kalau aku, aku hanya ingin sehat dan ‘bisa bahagia’. Bisa, karena buatku kebahagiaan adalah sebuah kemungkinan. Sebuah upaya, bukan sesuatu yang selalu terberi di setiap detiknya. Aku berharap aku bisa belajar tidak menyia-nyiakan kebahagiaan ketika saatnya datang, bisa memilih menjadi bahagia ketika pilihan itu ada, meskipun dalam upayanya aku harus selalu bersama dengan luka-lukaku.
Semoga kita semua bisa berbahagia.
Hidup pernah dan masih mungkin bahagia. Manokwari, 2019.
Kabar hara:
Siapa tau terlewat di tengah banjir konten media sosial hari ini.
Bunga Kayu (Iwan Fals ft. Rara Sekar) sudah bisa didengarkan di semua platform digital.
Ati Bolong (live performance), in memory of Gunawan Maryanto.
Celebrating hara's 1st anniversary live and huru-hara cake by Ben Laksana lols
Kala (Zaman ft. hara) out now! Cita-cita menyanyikan lagu dalam Bahasa Jepang tercapai di lagu ini!
Photos by @21ichal
Panggung Kenduri pertama, di Ambon bersama #RempahGunung! Untung sebelum manggung resletingnya ditutup dulu :') Terima kasih untuk kesempatannya. Ga sabar bisa kembali manggung lagi di tahun 2022.
Kenduri terpilih sebagai salah satu dari 10 album Indonesia terbaik 2021 edisi The Jakarta Post! 🎉
New playlist update: sing me to sleep. Aku membuat thread di Twitter tentang koleksi playlistku, banyak rekomendasi playlist lain juga di thread itu siapa tahu lagi tertarik cari lagu baru bisa cek di sini.
Namlea, 2021.
Selamat tahun baru.
Salam hangat dari Bogor,
hara