21 Juni 2023
Isabella Stewart Gardner Museum, Boston. May 2023. Photo by Ina Andriani.
Haloo haloo,
Apa kabar? Semoga kabarmu baik ketika menerima jurnal ini ya. Udah terlalu lama sejak aku terakhir mengirimkan kabar di sini ya? (template pembuka setiap jurnal haha) Bahkan substack aja kirim email kemarin untuk mengingatkan kalau udah hampir 4 bulan aku ga menulis sesuatu di sini! Hahaha. Ingin sekali aku meminta maaf untuk absenku belakangan ini, tapi kali ini aku tidak melebih-lebihkan, terlalu banyak yang terjadi dalam hidupku dalam empat bulan terakhir ini. Hal-hal terbesar selama lima tahun ke belakang tiba-tiba datang dalam rentet waktu yang berdekatan. Maret April Mei Juni—setiap bulannya ada momen puncaknya sendiri. Gila. Baru sekarang aku bisa perlahan meresapinya, mengendapkannya, satu per satu memori dari setiap peristiwa itu aku coba maknai meski lebih sering mereka terasa seperti kepingan-kepingan mimpi belaka.
Sebagai kabar pembuka, aku dan Ben sudah pindah (pulang?) kembali ke Wellington, New Zealand! Aku menulis jurnal ini di jendela kedai kopi favorit kami, Customs, yang sedang dibanjiri sinar matahari (semua orang nampak menghindari tempat ini karena panas, sebagai gadis tropis tentu aku adalah fakir matahari dan mencintainya). Kopi di sini mungkin terbaik se-Welly. Aku sekarang lebih banyak minum long black. Dengan settingan default New Zealand, double shot, aku dan Ben udah bisa menakar kuota kafein harian kami. Satu minuman espresso-based cukup, sisanya bisa filter, teh, hot cacao, atau matcha. Aku masih memulai hariku dengan jamu (meskipun sekarang masih versi bule haha kunyit lemon madu, kadang campur jahe). Dan aku sudah mulai berlangganan gym di gym pemerintah kota Wellington yang cuma berjarak 10 menit berjalan kaki dari rumah: di sana ada opsi kardio, angkat beban, kolam renang spa dan sauna, juga kelas-kelas seperti pilates, yoga dll. Harganya paling murah dibandingkan gym privat lainnya, dan tempatnya langsung menghadap Oriental Bay. Setiap hari aku berjalan lebih dari 10.000 steps (rata-rata 16.000 steps), berdiri lebih dari 11 jam, dan melakukan aktivitas olahraga lebih dari 30 menit. Begitu kata jam pintarku. Tingkat polusi di sini 9 (nangis, miris dan merasa bersalah setiap liat berita tentang polusi di Jakarta). Aku merasa lebih sehat dan bugar. Tapi pas nimbang di gym udah pede banget bakal turun ternyata sama aja beratnya, ngakak. Anyways. Pelan-pelan dengan mengembalikan ritual-ritualku, aku merasa lebih menapak dan hadir di dalam tubuhku sendiri. Kamu sendiri gimana? Adakah ritual-ritual baru yang menjadi bagian dari keseharianmu sekarang?
Town Belt, Wellington. June 2023. Photo by Ben Laksana.
Saat menginjakkan kaki pertama di Wellington, Ben tanya, “Gimana rasanya balik ke sini lagi?” Aku jawab aku merasa semuanya familiar, nyaman dan aman. Wellington ga banyak berubah sejak kami meninggalkannya tahun 2018. Entah ini adalah hal yang baik atau buruk (sepertinya buruk?). Aku ga pulang ke Bandung 2 bulan aja Bandung udah berubah banget sampai ga terasa seperti pulang lagi. Ada beberapa toko tutup, kedai kopi dan restoran baru buka, lebih banyak keluarga punya anjing di sini (akibat pandemi katanya), dan hal-hal standar lainnya yang terjadi di kota. Aku memperhatikan sekarang lebih banyak orang-orang tidur di jalanan (di tengah musim dingin), lebih banyak kesenjangan, krisis rumah dan tempat tinggal lebih parah dari dulu, dan inflasi yang ga main-main. Secangkir long black harganya $5 (kurang lebih Rp 50.000)—nangis inget cappuccino di Seyegan harganya Rp 17.000 haha tapi itu akibat upah rendah sih #butuhserikatbaristaJogja, sewa rumah dengan satu kamar harganya antara $450-550 per minggu (4-5 jutaan per minggu, iya per minggu). Beasiswa apapun (kecuali Orang Tua Foundation~) juga ga akan mencukupi untuk bisa hidup foya-foya di sini haha. Oleh karena itu, seperti saat kami dulu tinggal di sini, aku dan Ben harus sambil bekerja. Ben hanya bisa kerja part-time karena sedang sekolah dan aku bisa kerja full-time. Tapi buat 6 bulan ke depan, aku ingin kerja part-time dulu karena ada hal-hal lain yang perlu aku kerjakan di samping (padahal mimpinya aku jadi sugar babie selama 6 bulan ini, itu baru mimpi~). Jika semua dilancarkan, mulai Juli kami akan bekerja di kampus sebagai tutor (semacam teaching assistant), Ben di sosiologi dan aku di antropologi, sedikit tambahan untuk membiayai adiksi kami pada secangkir long black, ikut sesi zazen mingguan, urun ikut paduan suara komunitas, dan membeli pupuk dan benih untuk #KebunRukun cabang Wellington. Semoga semua yang sedang kamu kerjakan juga diberkahi kelancaran ya.
Sebenarnya aku sudah berencana untuk menulis jurnal terpisah untuk momen-momen puncak setiap bulan itu: satu untuk Konser Kenduri di 1 April 2023, lalu residensi musik OneBeat April-Mei 2023 dan panggung-panggung hara pertama di Amerika, dan pastinya tentang Juni—ulang tahun ke-33, ulang tahun Kenduri, pindah ke New Zealand, dan rencana-rencana hara dalam beberapa bulan ke depan. Aku bahkan sempat menulis jurnal harian saat residensi di Florida, tapi berhenti di awal Mei karena ternyata tur sambil mencatat itu agak gila juga buatku haha. Sepertinya tetap akan aku tuliskan dalam jurnal terpisah tentang Konser Kenduri dan residensi OneBeat, tungguin ya, sepertinya akan butuh waktu untuk menuliskannya dengan baik. Untuk sementara, aku hanya ingin bertukar sapa denganmu dan berbagi cerita keseharian setelah sebulan kembali ke Wellington.
My wife Claudia and I. Jackson Mississippi. May 2023. Photo by Zhina Ardalan.
Hidupku di sini lebih lambat. Padahal hari lebih pendek dari biasanya. Saat ini sedang musim dingin, jam 8 pagi matahari baru terbit dan jam 5 sore matahari sudah tenggelam. Bangun dari tidur 8 jam (ini adalah sebuah berkah setelah berbulan-bulan rata-rata tidurku 5 jam), aku membuat jamu, sarapan sehelai roti panggang dengan selai kacang, bikin kopi dengan plunger yang kubeli dari toko barkas seharga $10 (tetep mahal ya haha) lalu menyiapkan bekal makan siang nanti. Senin Selasa adalah jadwal Ben masak, jadi biasanya itu paketnya udah termasuk disiapin bekal sama dia, meskipun menunya eklektik bro. Kemarin-kemarin aku sempat share ke temen-temenku menu makan siang a la Ben: (((roti isi nasgor, ayam rebus dan biji-bijian))). Keren. Fusion. NOMA. Tapi enak kok haha. Temenku Jordan bilang roti isi nasgor itu menu dekolonial. Menurut Ben sih itu menu no waste. Buatku sih yang penting asal jangan no taste aja haha.
Roti isi nasgor a la Chef Ben Laksana. June 2023.
Rabu Kamis adalah jadwalku masak. Aku lagi mencoba menyempurnakan skill masak sayur labu siam karena itu makanan favoritku dan labu siam (di sini namanya Choko) murah meriah di toko makanan Asia. Ben juga bikinin segentong kimchi jadi kami selalu ada makanan kalau-kalau males masak dan seminggu terakhir aku lagi senang masak pakai bumbu gochujang. Untuk bisa selalu masak masakan Indonesia sebenernya agak kurang ekonomis di sini, jadi kami menyiasatinya dengan setia pada bumbu-bumbu yang tahan lama dan olahan fermentasi. Minggu pertama di sini aku langsung pinjam buku resep di perpus kota. Aku cari resep-resep salad dan dressing yang bisa tahan lama dan dibikin spread. Sekarang aku lagi uji coba dengan bumbu tahini (terbuat dengan sesame seeds) dicampur ini itu seperti miso paste, apple cider vinegar, yogurt, dll. Ini cocok buat dressing salad hari-hari. Tapi hm tetep lebih enak kalau dicampur sambel belibis sih hahaha #decolonial.
Hidup di Welly kali ini sebagai non-mahasiswa (cuma jadi sugar baby yang bertahan 1 minggu) agak beda rasanya. Aku merasa lebih liyan. Aku merasa seperti seorang imigran, yang harus mencari celah-celah di mana aku bisa ‘belong’ dan menjadi bagian dari masyarakat di mana aku hidup sekarang. Aku senang teman-temanku masih ada banyak yang tinggal di sini, kami sudah bertemu di minggu-minggu awal aku di sini, tapi ada perasaan dalam diriku bahwa aku harus berkenalan lagi dengan kota ini.
Waktu aku mendapat kabar kalau Eyang Putriku masuk rumah sakit, siangnya pintu rumah digedor tetanggaku yang juga seorang eyang-eyang di usia hampir 80–sebuah kebetulan atau mungkin bukan. Ia meminta bantuanku untuk mengecek komputernya, ia salah password dan ga bisa login ke komputernya sama sekali. Sambil membantunya mendapatkan kembali akunnya, aku jadi sedikit banyak tahu sejarah hidupnya: suaminya meninggal beberapa tahun lalu, mereka menikah selama 37 tahun, keluarga dari suaminya menurutnya jahat dan gila harta (haha sebuah info), anak-anaknya tidak tinggal di Wellington, dia suka menonton film di perpustakaan kota setiap Kamis dan setiap Sabtu ada teman suaminya yang suka membantu urusan teknis di rumahnya. Waktu aku baru datang ke rumah, dia menghadiahi kami bibit bayam untuk kami tanam di kotak-kotak styrofoam bekas pesanan ikan penghuni sebelumnya. Minggu lalu kami menanam semua bibit pemberiannya di kotak-kotak itu. Kami kembali berkebun di empat musim yang artinya, belajar dan berkenalan lagi dengan iklim dan lingkungan di tempat kami tinggal sekarang.
Menanam bayam, rocket, mustard green, kale nero, oregano, sage, thyme dan spring onion. Berkebun seadanya di awal musim dingin. Wellington. June 2023.
Senin lalu aku diajak mantan dosen pembimbingku ikut paduan suara komunitas di kota ini. Khusus di hari Senin, paduan suara ini hanya untuk perempuan. 3/4 pesertanya lansia, ada yang di kursi roda, ada yang sudah sangat sepuh, dan 1/4nya isinya perempuan-perempuan di atas 30 tahun, termasuk aku dan dosenku. Pemimpin padus ini seorang penyanyi gereja dari Madagascar yang ingin mendemokratisasi akses pada paduan suara yang seringkali elitis. Dia hanya ingin semua orang bisa bernyanyi. Di mana saja. Bersama siapa saja. Bernyanyi untuk bernyanyi. Semangatnya menginpirasi. Dalam satu sesi 1,5 jam, kayanya ada tuh kita menyanyi 10 lebih lagu. Macam konser full ya haha. Lagu-lagunya beragam, ada lagu dari Nigeria, India, lagu-lagu yang lahir dari gerakan Black Lives Matter, juga lagu-lagu bertema alam (The Earth is our mother, we must take care of her~), sangat Kenduri ya bun. Saat bernyanyi, tidak penting siapa yang suaranya lebih bagus atau lebih keras. Yang penting kita bernyanyi, bersama-sama. Banyak ketawanya. Banyak geraknya yang kaku-kaku lucu. Aku melihat musik dalam bentuknya yang paling esensial, hal yang aku juga alami selama masa residensi di Amerika. Tidak sabar untuk bernyanyi bersama lagi di minggu-minggu depan.
Wellington Community Choir. June 2023.
Tinggal di Wellington juga membawa ke depan identitasku sebagai warga kota. Setiap warga kota misalnya, berhak mendapatkan akses ke perpustakaan kota (yang tersebar di beberapa lokasi), dan bisa meminjam buku di perpus kota secara gratis dan bahkan ga ada denda kalau telat mengembalikan. Koleksi bukunya juga selalu diperbaharui. Ada banyak buku yang selama ini ingin aku beli/baca lengkap di koleksi perpus. Satu per satu bisa aku baca di sini tanpa harus boros beli semua buku di dunia haha. Interaksi di ruang publik yang lebih baur juga lebih sering terjadi di sini. Misalnya, aku sering nongkrong di perpus kota, di sana setiap sorenya sering ada salah satu tunawisma yang memiliki permasalahan mental health yang juga suka nongkrong mencari tempat bernaung di tengah kota. Meskipun ia suka teriak-teriak dan mengeluh sendiri, marah-marah, atau sedikit-sedikit minta bantuan staf perpus, staf perpus tidak mengusirnya begitupula dengan pengunjung perpus lainnya dengan latar belakang yang beragam (dari eksmud, mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga sampai pencari suaka). Justru ia sesekali mengajaknya ngobrol, kasih pilihan film untuk ditonton, rekomendasi buku untuk dibaca di perpus, atau sekadar memberitahu ramalan cuaca seminggu ke depan untuknya menyesuaikan kesehariannya.
Belakangan ini juga Wellington sedang mengarahkan pembangunan kotanya menjadi kota yang lebih fokus pada sepeda (agak nangis bayangin betis karena kota ini super nanjak dan harga sepeda listrik masih di atas $2000 haha). Warga kota diminta untuk memberikan pendapatnya terkait rencana ini juga rencana pengurangan kecepatan mobil di beberapa titik di kota menjadi 30km/jam untuk memfokuskan penggunaan jalan untuk pejalan kaki dan pesepeda. Tentu konsultasi publik terkait kebijakan kota ada di mana-mana ya, tapi di sini aku pribadi merasa partisipasi warga kota didekatkan dan bukan jadi hal yang luar biasa atau hanya bisa diwakili oleh segelintir orang yang berkepentingan hehe. Di sini aku juga sangat suka duduk-duduk dan melamun di ruang-ruang publik seperti taman kota, taman bermain depan pantai, bangku-bangku kayu depan pelabuhan, piknik di hutan kota—kesenangan-kesenangan yang tidak melulu harus mahal. Meskipun kangen juga sih tiba-tiba ada mamang siomay nangkring di depan atau warteg seberang jalan, haha. Sayangnya di sini ga bisa sembarang jajan di mana aja. Argh, aku kangen jajan di mana aja dan harganya ramah di kantong!
Pemandangan jalan pulang dari kota ke rumah (rumah kita di dekat gereja merah bata di bukit sebelah kiri di foto). “Liatin apa?” “Ada botol isi kencing.” Hahaha. June 2023.
Di rumah kami sekarang aku sudah punya meja belajar. Aku sudah memasang soundcard, mic stand, mic, dan headphones bahkan sudah merekam sebuah lagu untuk proyek film seorang teman di Belanda. Dalam waktu 6 bulan ke depan aku ingin merekam banyak lagu di rumah (tadinya mau sewa studio di sini tapi harganya bikin GERD). Daftarnya sudah (dan semakin!) panjang. Aku harap kalian akan dengan sabar menunggu lahirnya lagu-lagu ini satu per satu. Seperti hidupku di sini, jadwal rilisnya juga santai dan pelan (ya kapan sih hara ambisius haha). Yang pasti, akan selalu ada musik hara yang tumbuh dari ujung Selatan dunia ini. Selama residensi di Amerika aku juga merekam banyak lagu. Bagus banget semuanya #pede karena kolaborasi sama teman-teman musisiku yang luar biasa. Tapi soal ini aku belum tahu kapan akan rilisnya. Walaupun sekarang aku mesti rehat dari panggung hara di Indonesia, aku bersemangat buat babak baru hara. Aku merasa dunia hara sekarang tidak terbatas dan aku tidak sabar mewujudkannya, satu per satu.
Untuk sementara waktu, mungkin segini dulu ya kabar dariku? Aku sekarang sedang duduk di taman bermain seberang Oriental Bay, menulis di meja piknik kayu sambil melihat orang-orang menikmati pantai, menunggu petang di tengah musim dingin ini. Aku lapar tapi Ben baru masuk gym haha jadi aku akan lanjut melamun dulu sambil membayangkan variasi sayur labu yang akan aku bikin nanti malem. Jujur, kangen Kedai Rukun.
Jelang petang di Oriental Bay, Wellington. June 2023.
Sehat-sehat ya di manapun kamu sedang berada. Semoga belakangan hidup lebih lembut padamu. Teman baikku berpesan, “be gentle on yourself.” Pengingat yang mungkin beresonansi untukmu hari ini.
Salam hangat dari Welly yang dingin,
hara
Ini bukan rumah kami :’) Wellington. June 2023. Photo by Ben Laksana.
Kabar hara Paruh Pertama Dua Ribu Dua Puluh Tiga
Merilis Kenduri: Swara Tani (Exclusive Box Set)
Photo by Rangga Kuzuma.
Setelah tertunda selama 60 minggu, akhirnya aku bisa merilis karya turunan terakhir dari album Kenduri! Di dalamnya box set spesial ini, ada buku Kenduri: Swara Tani, buku berisi ilustrasi serta percakapan-percakapan yang melengkapi album Kenduri, bersama mereka yang bertanam dan merawat Ibu Bumi: petani muda di Sukabumi, kolektif tani muda di Purbalingga, ibu-ibu Kartini Kendeng dan ahli permakultur di Pakem, scroll ilustrasi interpretasi visual album Kenduri, demo tape (kaset) hara dan paket menanam tumbuh gugur. Semuanya dibungkus di dalam besek yang dilapisi kain furoshiki berilustrasi. Box set dijual seharga Rp 650.000 dan bukunya dijual terpisah seharga Rp 300.000 (di luar ongkir). Untuk pemesanan lebih lanjut bisa menghubungi +62851 7222 1797 via Whatsapp atau memesan langsung ke bit.ly/swaratani.
Seroja ft. Ugoran Prasad (Live di Teater Garasi)
Sebuah kehormatan bisa berkolaborasi dengan Mas Ugo, terkhusus di lagu untuk Mas C ini. Rasanya full circle. Versi video di Youtube, versi audio di Spotify. 🖤
hara diundang untuk menjadi tamu di Season 2 Podcast #UltimateCalm, yang diinisiasi Ólafur Arnalds dengan BBC Sounds 💫
Episode ini bisa didengarkan di sini.
Liputan Konser Kenduri oleh Titah AW untuk VICE Indonesia
“Setahun ke belakang setelah pindah Yogya, aku malah kembali mempelajari soal pertemanan. Dari kecil aku sering berpindah hidupnya, jadi sering terpisah (dengan teman baru),” cerita Rara saat membuka babak terakhir, Perpisahan, sambil menahan tangis. Setlist di babak ini berisi perayaan atas perjumpaan dan perpisahan yang terjadi sepanjang hidup, seperti sebuah siklus alami. Mengawali babak empat, ia mengenalkan dua lagu barunya, “Sebuah Lagu untuk Teman” dan “Layar Terkembang”.” Selengkapnya di sini.
Selain itu, Januari-Juni 2023 juga diwarnai dengan rangkaian terakhir dari Tur Kenduri 2023: botram, menjadi pembuka untuk konser Ichiko Aoba di Jakarta, melangsungkan Konser Kenduri di Cangkringan dan menjalani residensi musik OneBeat selama sebulan di Amerika Serikat. Separuh tahun yang padat, 🌷!
i always enjoyed reading jurnal akar wangi since day 1. ikut senang karna kak hara bisa kembali ke wellington. Terimakasih kak hara telah menemani ku disaat kepala lagi penuh2 nya. semoga sehat selalu yaa kak, dan selalu ditunggu karya baru nya
Turut senang tapi agak kesal lihat roti isi nasi goreng (ide banget haha), teringat masa lampau temanku makan nasi goreng tambah nasi putih karna masih lapar hahaha :( dan gak sadar ternyata baca sambil senyum2, membayangkan ada disana juga, salah satu wishlist-ku untuk bisa kesana entah untuk jalan2 atau mungkin tinggal sementara :) .. Semoga bisa happy terus disana dan semangat gym nya !