13 Agustus 2023
Halo,
Apa kabarmu di sana? Di sini masih dan semakin dingin cuacanya dan jadi bikin banyak orang di sekitarku sakit termasuk Ben yang sempet masuk angin (meskipun kita sempet berdebat sih masuk angin di luar negeri itu sama ga ya sama di Indonesia? Haha). Semoga kamu sehat dan hangat di manapun sedang berada ya!
Kalau mungkin kamu terlewat membaca jurnal sebelumnya, sejak tengah tahun 2023 aku mengabarkan jurnal akar wangi dari Wellington, New Zealand, tempatku bertinggal saat ini. Saat ini aku sedang menulis buatmu dari kafe museum Te Papa, tempatku mencari matahari di tengah musim dingin yang nyontrong-nya ke punggung (kalau Customs mataharinya langsung ke muka haha). Berbeda dengan jurnal yang lalu, di jurnal kali ini aku cuma ingin berbagi tentang suatu peristiwa saja (di jurnal lalu soalnya vibenya agak kolosal karena aku mencoba merangkum semua kejadian penting selama paruh pertama 2023 alias heri - heboh sendiri).
Seminggu yang lalu, tepatnya hari Kamis, 3 Agustus 2023, adalah kali pertama hara manggung di New Zealand! Panggung pertamaku di Wellington sebagai hara. Di City Gallery Wellington. Membawakan lagu-laguku sendiri - full set dalam Bahasa Indonesia. Wah, pengalaman yang menyenangkan dan berkesan sekali. Saking berkesannya aku kepikiran terus untuk berbagi ceritanya dengan teman-teman di jurnal akar wangi, sesegera mungkin. Begini ceritanya~
Seneng banget waktu liat poster ini di kota! July 2023. Photo by Ben Laksana.
Waktu aku menerima undangan untuk manggung via email dari City Gallery Wellington sekitar sebulan sebelumnya, aku sejujurnya agak panik. Apu (gitar kesayanganku yang banyak maunya kayak aku) lagi sakit, dia butuh direparasi akibat traveling intens dari cuaca panas lembab ke musim dingin yang kering. Aku lagi ga dalam mode manggung (terakhir mode manggung adalah saat residensi OneBeat dan jujur setelahnya ingin istirahat dulu dan fokus jadi sugar babie yang cuma bertahan seminggu itu). Colokan alat musikku semuanya masih colokan Indo - neraka dunia kabel dan teknis. Dan, undangannya itu untuk manggung di minggu pertama Agustus yang adalah minggu terdingin di musim dingin. Mantap. Keren. Chill. Tapi kapan lagi? Aku pikir. Belum lagi punya suami/manajer Batak yang modal hidupnya 99% nekat dan "Maju dulu aja!!" (mikirnya belakangan haha) yang terus manas-manasin untuk semangat dan yuk bisa yuk. Aku pun mengiyakan tawaran tersebut dan di sela-sela jadwal kerja part-timeku, aku mencari tempat reparasi buat Apu, beli selusin adaptor murah di toko makanan (?) Asia (yang adalah pilihan yang buruk tapi mampunya ini dulu sekarang haha), latihan dan eksplorasi set Kenduri ++ dan meyakinkan jari-jemariku kalau mereka bisa menghangatkan dirinya sendiri saat aku bermain gitar nanti hahaha.
Akhirnya hari itu pun tiba. Kamis. Tiga Agustus Dua Ribu Dua Puluh Tiga. Aku dijadwalkan untuk check sound sorenya jam tiga. Aku dan Ben jalan kaki dari rumah membawa semua peralatanku dengan tangan penuh: gitar, koper berisi sound card, microphone, efek vokal, pedal, aneka kabel, aneka adaptor, buku catatan untuk setlist, botol minum, tas berisi si Muni (Yamaha Reface CP kembaran Jimmy-nya adeku), stand gitar, dan vas bunga yang kubeli buru-buru sehari sebelumnya di Mary Hospice seharga tiga dollar saja. Alhamdulillah, ga ada urat yang ketarik, atau otot yang kejepit dalam perjalanan ke sana - ini penting untuk badan-badan jompo muda! Untung jarak rumah ke galeri hanya 15-20 menit meski harus lewat tangga-tangga sedikit banyak. Sesampainya di venue, sebuah auditorium bersama Adam Auditorium, aku disambut dengan staf galeri dan dua sound engineer yang akan membantuku untuk panggungku malam itu.
Persiapan panggung hara di City Gallery Wellington. Agustus 2023. Photo by Ben Laksana.
(Maaf tidak jadi merilis tulisan ini seminggu setelah manggung. Tulisan ini akhirnya dilanjut seminggu kemudian karena aku sakit haha. Sekarang lokasiku menulis sedang di perpustakaan kampus, dengan kondisi matahari memanggang punggungku dan sudah sehat!)
18 Agustus 2023
Kembali ke Adam Auditorium, ini adalah sound check dan panggung pertama full set hara setelah Konser Kenduri di mana aku harus menyiapkan set panggungku sendiri alias jadi cewe kabel :’). Sewaktu di residensi OneBeat aku dilatih buat lebih sat set urusan teknis karena tuntutan setlist panggung di setiap kota yang beragam. Akhirnya kemampuan itu dites di sini. Waktu sound check aku ditanya ini itu sama dua sound engineer udah berasa kaya sidang oral bro tegang juga, hahaha. Tapi sungguh dengan set up sound system yang terlihat minimalis, soundnya bagus dan detail banget, di panggung maupun untuk penonton. Dua sound engineer ini udah bekerja di bidang ini selama 20 tahun tapi mereka berdua super ramah dan santai, bahkan sempet nemenin aku dengan vibes kebapakan di backstage sebelum dipanggil untuk manggung sambil ngasih tips-tips masuk skena di sini (di mana inti pesannya adalah terus coba, terus berjalan, nekatin aja, skena di sini ga terlalu besar tapi seru & eksperimental!).
Ketawa tegang di backstage. Agustus 2023. Photo by Ben Laksana.
Setelah sound check selesai, aku pulang buat ganti baju pake koleksi daur hadiah perpisahan dari Mas Lulu Lutfi Labibi yang selalu bikin aku sedih karena kangen banget sama Mas Lulu! Sayangnya aku ga bisa pakai bajunya dengan semestinya karena aku menggigil dan perlu pake turtleneck Endgame aka gita wirjawan style di dalemnya dan jas kedodoran di luarnya. Semoga tetap agak fasyun ya bun hahaha. Make up ala kadarnya (rindu Mba Yoan) dan kembali jalan kaki ke venue buat siap-siap di green room. Sesampainya di green room aku sama Ben ngakak-ngakak, “Wah, kalau di sini ridersnya keju, wortel mentah sama crackers ya?” Sambil masukkin keju-keju perancis ini ke dalam tas kecilku. “Jangan ke tas kamu nanti kalau keliatan kamu jadi keliatan kayak artis miskin!” “Loh tapi kan?” Hahaha. Ga lama kemudian kami dipanggil untuk siap-siap ke backstage.
Konsumsi. Agustus 2023. Photo by Ben Laksana.
Set list untuk panggung hara kali ini adalah Kenduri plus-plus. Plus-plusnya adalah aku menyelipkan satu lagu improvisasi bersama Muni yang belakangan menemani eksplorasi musikku. Bersama Muni, aku mulai menemukan diriku yang menghabiskan usia 20an mendengarkan Takagi Masakatsu on repeat. Pengaruh musikalitasnya ternyata begitu membekas dalam alam bawah sadarku. Rasanya aku ingin sekali mendedikasikan sebuah lagu untuknya suatu hari. Semoga diterima oleh senpai~ Anyways, penampilanku berjalan sangat lancar! Penontonnya pun lumayan penuh (bukan yang penuh meledak gitu sih tapi penuh yang pas untuk mengisi ati bolongku akibat insekuriti haha), ada beberapa teman-temanku datang termasuk teman-teman paduan suaraku yang adalah oma-oma semua isinya hihi, juga banyak orang yang ga aku kenal tentunya. Aku latihan cukup banyak untuk bagian speech di antara lagu, karena pasti mereka ga ngerti lah ya liriknya artinya apa, jadi aku berusaha memberikan konteks supaya pikiran mereka bisa mengembara di dalam koridor-koridor imajiner yang aku bangun buat mereka. Aku juga menyadari kalau sekarang alhamdulillah akhirnya aku bisa agak ngabojeg~ (bercanda) dalam Bahasa Inggris (ternyata inilah makna dari S2~) dan anehnya momen paling komedik selalu jatuh sebelum lagu Seroja. Jadi pas masuk lagi Seroja, bener-bener kaya rollercoaster maut buat penonton maupun buatku haha. Tapi mungkin begitulah. Duka.
Setelah selesai manggung dengan penonton yang hangat dan sangat apresiatif, aku merasa ‘terlihat’. I feel seen. Ini bukan soal manggung di luar negeri dan mendapat pengakuan internasional sih haha, bukan itu, karena itu sepertinya masih sangat sangat jauh. Tapi aku merasa, dengan sepenuhnya menjadi aku, membawakan lagu-laguku, dalam bahasa ibuku, ternyata aku bisa bertemu dan terkoneksi dengan orang-orang yang mungkin sama sekali tidak mengenal/mengetahui tentang tanah airku. Tapi di sisi lain aku juga merasa kecil. Aku merasa sedang memulai kembali. Aku adalah bibit rocket di pot depan rumahku yang kutanam dua bulan lalu: masih kecil, masih rapuh, cenderung stunting karena kurang matahari. Tapi juga merasa kecil karena kosong. Aku jadi ingat momen ketika sedang membantu bekerja di perkebunan anggur milik temen dosenku. Dia memperkenalkan aku ke temannya dengan seperti ini: “Ini Rara. Dia musisi yang lumayan terkenal sih di negaranya. Tapi di New Zealand sih dia ga dikenal siapa-siapa ya.” Kami semua ketawa-ketawa setelahnya. Itu sama sekali ga salah. Tapi di Indonesiapun mungkin pertanyaan juga, aku siapa ya? Hahaha. Kadang, bukan siapa-siapa juga.
Selesai manggung jalan kaki lalu pulang naik bus ke rumah. Agustus 2023. Photo by Ben Laksana.
Mungkin emang terasa seperti bacot dan ga masuk akal ketika aku bilang aku merasa kecil di sini, karena aku tentu datang ke sini bukan dalam keadaan tangan kosong, ada pengalaman, modal sosial & ekonomi dan sejarah personal yang turut membantuku untuk bisa ada di titik ini (dan bisa dapetin gig pertamaku di sini lewat jalur nekat dan jual diri mania~). Tapi ternyata ga semua modal itu bisa diterjemahkan atau ditukar dengan social currency di sini. Selain itu, perpindahan kali ini ke NZ terasa agak berbeda dengan yang sebelumnya, di mana waktu 2016-2018 sudah jelas tertulis tanggal kepulanganku sebagai syarat beasiswa. Kali ini, masa depan terasa seperti kedalaman dan kegelapan palung mariana. Unknown. Seram dan menegangkan (secara baik dan buruk). Rencana-rencana hari ini hanyalah rencana. Dan satu-satunya kepastian yang bisa kita pegang adalah pilihan-pilihan kecil dan sedang yang kita ambil setiap harinya dalam rangka menuju the unknown itu. Ben cerita, dia pernah baca di suatu artikel bagaimana hidup sebagai imigran itu rasanya seperti "you've got nothing to loose, but also everything to lose." Perlahan, aku mulai memahaminya. Kadang aku mikir, must be nice~ untuk bisa hidup tanpa perlu nekatin diri atau mendorong diri ke jurang-jurang kerentanan atau menjebak diri dalam pilihan-pilihan yang tidak mudah, dan tetap bisa mengaktualisasikan diri, hidup menuruti kecintaan dan bisa mengubah mimpi-mimpi gila jadi realita. Tapi, apa ada orang yang tidak mengalami penderitaan di hidup ini? Hm, sepertinya aku minum terlalu banyak kopi hari ini!
Sowan ke Moko, pohon tertua di Wellington. Usianya sekitar 800 tahun. Otari-Wilton. Agustus 2023.
Menjadi kecil bukanlah akhir dari segalanya. Menjadi—atau merasa?—(kembali) kecil, (kembali) kosong, berarti masih adanya kemungkinan untuk tumbuh menjadi sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku bayangkan—untuk diisi. Namun juga kemungkinan untuk tidak tumbuh dan tidak menjadi sesuatu haha—berkebun menyadarkanku kadang tumbuh atau tidaknya benih juga bergantung pada faktor keberuntungan. Tapi sewaktu curhat soal ini ke beberapa teman-temanku, teman baikku bilang, "Terus maju dan kerja keras aja kita bisa gagal, apalagi ga ngapa-ngapain!" Living on the edge membuatku banyak merenungi soal kerentanan (bukan hanya dalam aspek ekonomi, tapi juga aspek sosio-kultural-emosional-terkadang eksistensial lainnya yang melekat bersamanya), juga pilihan-pilihan hidup seperti apa yang membuat seseorang bisa bertumbuh, menjadi lebih besar tanpa mengambil ruang dan sumber daya terlalu banyak sampai menghalangi bibit-bibit kecil lainnya untuk bisa tumbuh juga.
Aku jadi teringat sebuah nukilan dari salah satu penulis asal Wellington, Bill Manhire (1946), yang terukir di salah satu sudut kota,
“I live at the edge
of the universe,
like everybody else.”
Mississippi Museum of Natural Science. May 2023. Photo by Alexia Webster.
Salam hangat dari ujung dunia yang masih dingin,
hara
Kabar hara
Buku Kenduri: Swara Tani sudah dijual terpisah!
Selain exclusive box set, Buku Kenduri kini sudah bisa didapatkan di POST Santa (Jakarta) dan Bawabuku (Yogyakarta). Segera akan dikirim stok untuk Kios Ojo Keos dan Skylarmade. Terima kasih banyak buat kamu yang sudah mengkoleksi buku maupun box set Kenduri. It means the world to me 🌷
Diundang menjadi host podcast BBC Music Life, mewawancarai Ugoran Prasad, Rully Shabara dan Sandrayati Fay.
Beberapa bulan lalu podcast #bbcmusiclife mengundangku untuk jadi host salah satu episodenya, dan membolehkanku untuk memilih tiga musisi yang menginspirasiku untuk menjadi tamu di episode ini. Aku mengundang Sandrayati, Mas Rully Shabara dan Mas Ugoran Prasad dari Majelis Lidah Berduri untuk ngobrol banyak tentang musik dan perubahan sosial, hambatan dalam bermusik sebagai seniman dari the global south, dan cara-cara alternatif maupun siasat yang bisa kita lakukan untuk tetap menciptakan musik yang kita inginkan, dan tetap menjadi musisi yang kita inginkan. Episode super seru berjudul “You Don’t Have to Fit the Mould” udah bisa didengarkan di sini.
Merilis Video Perjalanan Konser Kenduri oleh Shalahuddin Siregar.
Video perjalananku mempersiapkan dan melangsungkan sebuah konser perpisahan-pertemuan dalam rangka menutup rangkaian perjalanan Tur Kenduri, kini sudah bisa ditonton versi lengkapnya di Youtube! Buat yang tidak sempat menghadiri rangkaian Tur Kenduri, sekarang kamu bisa mengintip perjalanannya lewat video ini. Buat yang berkesempatan hadir, semoga video ini bisa menjadi kenang-kenangan kita bersama.
Senang dan terharu banget bisa mengajak Mas Udin untuk merekam perjalanan #KonserKenduri. Seseorang yang karya-karyanya aku ikuti dan kagumi sejak lama. Kami terhubung secara tidak langsung lewat film Lagu Untuk Anakku, ketika aku ikut menyanyikan ulang salah satu lagu Dialita untuk turut mempromosikan film ini, sebuah lagu berjudul “Kabut Putih”, yang akhirnya aku nyanyikan lagi di Konser Kenduri.
Nonton video 15 menit ini bikin aku punya cara pandang baru terhadap 3 tahun ke belakang sebagai hara. Salah satunya, jadi bisa lebih lembut ke diri dan lebih menghargai perjalananku sendiri. Tapi aku juga jadi bisa melihat hal-hal yang aku masih kurang dan ke depannya harus terus aku isi (selain tabungan buat produksi).
Wawancara hara dengan Radioactive FM New Zealand.
Dalam rangka menuju panggung di City Gallery Wellington, aku diwawancarai Don Luchito dalam program The Amplifier Show milik Radioactive FM NZ. Wawancaranya seru tapi 90% ga ngebahas musikku sama sekali hahaha. Bisa gitu. Rekamannya bisa didengarkan di sini.
Akar Wangi masuk playlist yang dikurasi oleh fotografer-kurator-penulis, Teju Cole.
Mengingat Teju Cole adalah salah satu idolaku di dunia fotografi, aku masih ga paham gimana caranya algoritma bisa mempertemukan dia dengan laguku. Kadang masih terasa kaya mimpi. Di sela-sela fase emo merasa kecil, ini selalu jadi salah satu momen jangkar yang bikin aku merasa penuh. Terima kasih Mas Teju (((Mas)))!
Ngakak total @ turtleneck Endgame tapi nangis terharu membayangkan perasaan itu: memulai kembali sebagai benih. Perasaan paling precious, paling fragile, dan paling rewarding. I hope the universe gave you the chance to start over so that you can grow in the right soil, with all the right nourishments that you need. Proud of you always and miss u so much!
turtleneck Endgame
WKWKKW
WKWKWKW
WKWKWKWKWKWKWKWK