27 Juli 2022
Halo,
Apa kabar? Lebih dari setengah tahun kita tidak bersua ya di sini. Maaf karena ternyata aku tidak mampu untuk menulis lebih sering seperti yang kujanjikan. Banyak sekali yang terjadi di tahun 2022 dan sejujurnya aku selalu terpikir untuk menuliskan hal-hal yang kualami belakangan dan membagikannya ke kalian lewat jurnal ini, bahkan terkadang outline-nya udah aku runutkan di saat-saat sebelum aku tidur (sampai akhirnya susah tidur haha). Tapi belakangan hidup terlalu kacau untuk itu dan setelah berjarak dengan beberapa kejadian besar dalam hidupku, sepertinya memang paling tepat aku tidak menuliskannya di saat aku sedang berada persis di tengah badai-badai itu. Sekarang kepala dan perasaanku jauh lebih jernih untuk bisa menyapa dirimu di sini. Gimana kabarmu? Lagi sibuk apa? Semoga apapun hal sulit yang mungkin juga kamu alami belakangan ini, bisa terlalui dengan hati yang kuat dan lapang.
Udah hampir 7 bulan di tahun 2022 ini berlalu. Gila juga. Sebentar lagi tahun baru dan aku akan kembali dengan kata-kata basi penyemangat di akhir tahun yang berat ini lalu kututup dengan resolusi untuk tahun yang akan datang hahaha. Hidup ini terkadang begitu klise. Aku memang mengawali awal tahun dengan hati yang berat terutama setelah kepergian Mas C. Tapi kukira tidak akan ada hal yang bisa lebih menyakiti aku di tahun ini. Ternyata, aku terlalu sombong untuk ngomong seperti itu :’)
Beberapa hal buruk menimpaku, dan meski detil kejadian-kejadian itu tidak bisa aku ceritakan, aku cuma bisa berkesimpulan kalau, “Hurt people hurt people.” Awalnya aku kira aku cukup kuat dan bisa menghindari rasa sakit dalam diriku. Pikiranku mencoba merasionalisasi segala yang menimpa diriku dengan harapan sakitnya perlahan akan berkurang atau bahkan hilang. Hingga suatu hari saat aku sedang yoga malam-malam sebelum tidur, dalam posisi kepalaku menunduk di atas kedua lenganku saat sedang dalam supported pigeon pose, air mataku mengucur tanpa henti (dan tanpa aba-aba) seperti iklan adem sari. Bukan karena pikiranku, tapi karena aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di daerah ulu hatiku. Benar-benar seperti belati yang perlahan menusuk apapun ruang yang ada (atau tidak ada?) di tengah tubuhku. Bahkan sekarang aku masih bisa ingat kembali rasa sakitnya. Setelah itu terjadi, aku akhirnya memutuskan untuk nyerah dan menerima kalau aku memang sedang tidak baik-baik saja. Perlahan aku mencoba mendalami dan menyelami rasa sakit itu. Dari mana ya datangnya sampai segininya? Ternyata setelah cukup lama dan dalam berada di dalamnya, ada rasa sakit yang lebih lagi. Dan ia datang dari tempat yang tak terduga: memaafkan mereka yang menyakitiku, dan memaafkan aku yang telah memaafkan mereka yang menyakitiku. Aku tidak punya cukup kata untuk meneruskan soal ini tapi satu hal yang pasti, hari ini, aku baik-baik saja.
Photo by Rangga Kuzuma.
Terlepas dari hal-hal buruk yang menimpaku, banyak sekali hal-hal baik yang mendatangiku. Aku berhasil menulis ode untuk Mas C, sebuah lagu berjudul Seroja. Meskipun setiap kali membawakannya live aku selalu mbrebes mili/suara getar/selesai nyanyi air mata terjun bebas iklan adem sari lagi, tapi di setiap penampilan Seroja aku merasa semakin dekat dengan Mas C dan selangkah lebih dekat dengan menerima kepergiannya. Aku juga, pertama kali dalam hidupku, terapi dengan seorang psikolog yang menggunakan pendekatan holistik dalam praktiknya. Setelah terkena Covid, badan, perasaan dan pikiranku seperti ga nge-sync dan akhirnya tanpa banyak berpikir badanku yang mengajakku untuk terapi. Aku belum bisa bilang kalau terapi ini bentuk terapi yang paling tepat untukku tapi satu hal yang sangat menyentuh di akhir sesi sound healing, terapisku (yang tidak mengenalku maupun latar belakangku) menyampaikan sebuah insight yang ia dapat dari tubuhku: bahwa aku sangat mencintai musik dan segala karya yang aku ciptakan. Iklan adem sari hampir mampir lagi saat aku di mobil otw pulang dari klinik hahaha.
Aku juga berhasil melaksanakan Tur Kenduri yang bertahun-tahun cuma jadi angan-angan, wacana sampai rencana. Empat pertunjukkan dalam dua hari. Bersepeda 20 kilometer lebih per hari dan menyanyikan 14 lagu setiap harinya. Hatiku banjir dengan perasaan bahagia setelahnya. Mungkin butuh tulisan terpisah untuk bisa mencurahkan semua perasaan dan kesan dari babak pertama Tur Kenduri. Setiap mengingat momen-momen magis di dalamnya: mengayuh sepeda di tengah angin selatan sampai hampir terhempas ke sawah, menyanyi di depan (lalu di bawah) pohon keramat yang sering muncul dalam mimpiku, menyatu dengan hangatnya matahari pagi di samping sungai matisyahdu, menangis di balik debur ombak—semua ini membuatku selalu ingin berterima kasih untuk hidup ini, seberapa berat dan absurdnya ia. Dari Tur Kenduri aku juga jadi punya perasaan yang sangat kuat kalau di masa lalu sepertinya aku adalah ‘seorang’ pohon. Aku adalah seorang pohon bernama hara. Hahaha.
Photo by Kurniadi Widodo.
Hari ini, untungnya, adalah hari yang baik-baik saja buatku. Aku baru kembali dari Bali untuk bertemu teman-temanku. Healing. Anjay. Hahaha. Buatku healing itu sesuatu yang kolektif. Aku merasa bahagia dan tenang hanya ketika orang-orang terdekat dan orang-orang yang aku sayangi pun merasa begitu. Sewaktu di Bali, aku menyaksikan sebuah momen indah: melihat seorang teman begitu bahagia, dan yang mengantar kebahagiaannya, adalah musik. Kebahagiaan hanya ada ketika dialami bersama-sama. Musik, seperti saat menonton konser, jamming session bersama teman-teman musisi, karaoke bareng teman-teman kantor, adalah salah satu pengalaman collective effervescence (maaf agak Durkheimian nih hahaha), pengalaman di mana orang-orang berkumpul dan mengalami perasaan yang begitu intens secara bersama-sama di waktu yang bersamaan. Perasaan intens yang dirasakan bersama-sama ini (apakah itu bahagia, marah, kecewa, sedih, takut, lepas) menurutku begitu penting untuk menyembuhkan kekosongan dan kesendirian yang selama ini begitu menghantui kita selama pandemi ini. Perasaan yang meyakini kita bahwa, “I belong.” Perkara menyanyi bareng dalam satu suara bersama empat-lima orang teman, atau makan ikan bakar pake sambel dabu-dabu bareng teman-teman saja rasanya begitu memanusiakan, begitu mengutuhkan. Kehidupan pasca (?) pandemi hanya menguatkan kepercayaanku akan pentingnya peran komunitas untuk menciptakan masyarakat yang sehat jiwa dan raganya. Bahwa healing memang seharusnya sebuah upaya kolektif, bukan sendiri-sendiri saja.
Sejak Juni lalu, aku, Ben dan Fuko sebenarnya udah pindah ke Jogja. Setiap pagi dan sore kami jalan kaki sekaligus berkenalan dengan tetangga di desa. Satu hari salah satu tetangga yang sudah lansia menyapa kami untuk ngobrol sejenak dalam bahasa Jawa full non-stop rem blong (Ben sama sekali ga ngerti pastinya hahaha), sampai akhirnya pembicaraan sampai di titik di mana beliau agak bingung dengan kerjaan kami (peneliti → kerja dari rumah bersama asu → ngetik-ngetik?) dan akhirnya meminta kami bantu ngetik-ngetik urus KTP dan KK-nya. Ya, bisa juga sih hahaha. Di suatu hari yang lain, Ben ninggalin tai Fuko (di dalam plastik) setelah kami makan di salah satu warmindo hits di antara tukang-tukang bangunan di desa kami. Untung si Ben inget sekitar 5 jam kemudian dari kejadian (~ tidak lama ~). Pas kami mau ambil, pemilik warungnya bingung waktu Ben bilang, “Mba, maaf saya tadi ninggalin sampah di sini!” Mbanya membalas, “Duh ya ampun gapapa mas repot-repot loh, rajin banget, padahal nanti saya aja yang bersihin. Emang apa sih yang ketinggalan?” “Tai anjing saya.” Hahaha!
Di awal tahun, aku sempat menuliskan kalimat ini di buku catatanku:
Hidup masih mungkin bahagia.
Mungkin, ada benarnya kalimat itu.
Photos by Kurniadi Widodo.
Mendoakan hal-hal baik untukmu yang sedang membaca ini.
Salam hangat,
hara
Halo Mbak Rara.
Kabarku baik, hehe.
Oiya, salam kenal Mbak Rara. Ini pertama kali aku baca Jurnal Akar Wangi, (aku bacanya marathon, mulai dari tulisan #1 sampailah pada yang ke #9 ini, hehe) setelah 2 bulan lalu mulai aktif mengikuti akun IG nya Mbak karena bakal tampil di acara MIWF di Makassar pada Juni lalu.
Pada 25 Juni lalu, itu adalah pertemuan pertama kali kita lho Mbak, hahaha. Karna awalnya, aku mengenal sosok Mbak itu setelah datang ke MIWF kemarin. Lucunya, tahun 2017, saat masih di bangku SMA, aku mulai memasukkan dan menikmati lagu-lagu Banda Neira di daftar playlist ku tanpa mengetahui siapa penyanyi dibalik lagu-lagu itu. Hal itu baru ku ketahui dengan jelas pada Juni kemarin. Waduh, benar² aku ini Mbak, tahunya cuma menikmati tanpa tahu siapa yang membawakannya, huhuhu.
Semoga Mbak Rara ingat dengan samar-samar siapa di acara kemarin yang minta tanda tangan usai tampil, di antara antrean panjang penggemar yang ingin foto bareng. Padahal, jujur aku pengen banget foto bareng juga saat itu. Tapi, saat itu Mbak kelihatan capek habis tampil, makanya niat itu ku urungkan dan berakhir hanya dengan meminta tanda tangan, yah hitung² oleh-oleh khas Mbak Rara usai MIWF, hahaha.
Wah, baca marathon jurnal ini membuat perasaan ku campur aduk, Mbak. Tidak tahu harus mulai darimana aku berkisah akan perasaan campur aduk ini usai membaca jurnal Mbak Rara.
Beberapa hal dalam jurnal ini membuatku terkesan, dan beberapa hal itu Mbak Rara sempat ceritakan saat di Makassar kemarin saat sesi diskusi di MIWF. Dari jurnal ini juga, aku sedikit mengenal lagu-lagu yang Mbak Rara nyanyikan kemarin saat tampil, dan lagu Kebun Terakhir menjadi favorit hingga saat ini❤️
Ungkapan perasaan yang campur aduk, salah satunya rasa senang dan haru mewakili tulisan ini, sehingga memutuskan untuk berlangganan membaca jurnal ini dan menantikan tulisan dan karya-karya Mbak Rara kedepannya.
Terima kasih telah berbagi dan juga doanya. Senang mengenal Mbak Rara sejak di MIWF kemarin. Semoga hal-hal baik senantiasa membersamai Mbak Rara🌻
(Maaf kalo kepanjangan Mbak. Entah mengapa, menyapa lewat kolom komentar di jurnal ini terasa nyaman ketimbang menyapa di DM IG nya Mbak🥂)
Senang sekali bisa kembali menerima jurnal akar wangi di inbox e-mail yang akhir-akhir ini semakin penuh dengan spam. Kabarku baik, begini-gini saja. Senang membaca perjalanan emosional Mbak Rara yang berakhir dengan 'healing', hahaha. Perihal rasa sakit yang akhirnya termanifestasi secara fisik--pernah baca di manaa gitu, menurut buku The Body Keeps the Count, bahwa pose yoga yang melibatkan daerah hips seperti pigeon pose memang bisa menstimulasi lepasnya emosi. Secara personal juga, memang itu pose yang cukup bahaya kalau saya lagi memendam emosi sedih atau kecewa.
Sangat setuju dengan pernyataan bahwa musik *bisa* menjadi pengalaman collective effervescence. Semoga suatu saat saya bisa mengalami itu di Tur Kenduri yang selanjut-lanjutnya, atau mungkin di Tur Album Hara Selanjutnya? Hahaha. Aminin saja dulu ya.
Terima kasih sudah berbagi. Semoga selalu sehat dan diliputi rasa syukur. 🤍