2 Januari 2023
Halo,
Selamat tahun baru! Gimana tahun baruanmu? Semoga menyenangkan atau setidaknya tidak menyebalkan ya, haha. Aku sendiri malah kecapean, tanggal 31 sorenya ketiduran sama Ben dan Fuko di ranjang kecil di studioku, lalu lanjut makan malam sisa ~kwasong pemberian ibunya Ben, ga lama kemudian aku ketiduran lagi sambil baca, dan tiba-tiba terbangun sama suara petasan jam 12 dan suara Ben yang bilang “selamat tahun baru” lalu dia malah matiin lampu kamar, haha. Aku dan Ben memang ga ada tradisi merayakan tahun baru, buat kami pergantian dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari layaknya pergantian hari biasanya. Hidup akan terus berjalan dan kita berjalan bersamanya. Demikianlah, memang kami pasangan yang ga terlalu asik haha.
Awalnya aku berpikir akan berbagi tentang refleksiku atas perjalanan hara tahun 2022 di jurnal kali ini, namun sepertinya soal itu bisa kamu nonton nanti di podcast tahunan Benang Merah, oleh karena itu aku ingin sekali berbagi sedikit soal sebuah topik yang sebenarnya sudah cukup lama aku pikirkan dan bahkan ingin sekali kutulis jadi sebuah lagu: tentang pertemanan.
Sejak beberapa tahun ke belakang, aku sebenarnya cenderung lebih suka merayakan tahun baru dan juga ulang tahun sendiri di rumah, atau hanya dengan keluarga inti dan teman-teman terdekat. Padahal, waktu lebih muda aku merasa aku orang yang sangat extroverted, mendapatkan energi terbanyak ketika sedang bersama orang banyak. Dulu kayanya aku sering jarang pulang (sampai dimarahin orang tua hahaha), pinginnya main sama teman-teman, keluar rumah, sibuk ekskul, aktif ini itu, bahkan ketika hari libur pasti hal pertama yang kepikiran adalah main. Entah apa yang terjadi (sering hidup sendiri dan jauh dari keluarga, menikahi seorang yang super introverted haha, hidup di New Zealand, pandemi, dstnya) sekarang aku jauh lebih nyaman untuk di rumah saja, atau berteman dalam lingkaran yang sangat kecil dan intim.
Kalau kamu mengikuti jurnal terakhirku, di sana aku cerita kalau sejak tengah tahun 2022 aku dan Ben pindah ke Jogja, dan selama di Jogja, aku baru kembali merasakan rasanya punya teman. Oke ini terdengar lebay hahaha, tapi izinkan aku menjelaskannya. Sewaktu di Bogor, aku merasa jauh—jauh dari teman-temanku yang tinggal di Jakarta, Bandung, Jogja, New Zealand. Dan setiap ingin berjumpa atau sekadar ngobrol, waktu dan energi yang harus ditempuh itu seringkali ga sebanding dengan kebersamaan yang didapat. Alhasil, aku sering merasa sendiri, dan selalu ada kekosongan dalam diriku yang mencari-cari sebuah komunitas untuk mengisi ruang kosong itu. Di Jogja akhirnya aku bisa hidup dekat dengan teman-temanku, seminggu mungkin bisa tiga kali ketemu. Bahkan bisa tiap hari kalau emang mau. Apapun bisa jadi alasan buat bertemu: genteng bocor, pompa air mati, oleh-oleh dari Jakarta (((oleh-oleh))), masak-masak impromptu yang jatohnya lebih mahal daripada makan di restoran, nitip anak/anjing/suami, pikuniku di empang makan indomie pake kimchi, perjalanan menjadi anjing ke sungai-sungai ladang DBD, nemenin bikin karya, bantuin bikin karya, dan beribu aneka alasan lainnya. Bahkan kami ada kedai langganan layaknya Central Perk, sebuah neighbourhood spot untuk pemeran utama di sitcom Friends. Kalau ke sana, pasti akan ketemu, satu, dua atau semua teman-teman kita yang ga banyak itu, lalu malampun menjadi panjang. Pengalaman pertemanan seperti ini ga pernah aku bayangkan akan bisa aku alami lagi sejak lulus kuliah. Bahkan, setelah memasuki fase hidup bekerjapun rasanya sulit untuk membayangkan ritme dan model pertemanan mirip seperti SMA-kuliah ini. Dan dengan segala kerempongan, kegaduhan dan kebacotan lingkar pertemananku ini, aku merasa sangat sangat bersyukur memiliki mereka di fase hidupku sekarang.
Foto sama Mas C yang baru-baru ini ditemukan kembali oleh Memen. Luv.
Nonton film terakhir Mas C di JAFF. Ternyata ada adegan Mas C dikubur. Kita tidak siap :’) #PTSD
Terutama mengingat kembali tarik ulur pertemanan selama usia 20an, sesuatu yang mungkin kamu pernah atau sedang rasakan juga? Tidak sedikit aku kehilangan teman, bukan untuk selamanya seperti kehilangan Mas C sih, tapi karena jalan hidup yang akhirnya memisahkan kita. Whatsapp group yang isinya antara selamat ulang tahun, minal aidin, selamat tahun baru, innalillahi, dan mungkin sesekali selamat lahiran semoga sehat selalu ibu dan debay~, reuni yang susah banget nyari waktunya dan ketika berhasil, berujung cuma bisa ngobrol sebentar dan susah untuk dibawa lebih dalam lagi karena hilangnya pertemuan antara hal-hal yang kita alami, dan yang paling jadi beban pikiran adalah rasa bersalah yang muncul dalam diri karena mulai meragukan hubungan pertemanan yang telah terjalin—apa iya harus berpisah di sini?
Tidak jarang juga aku meragukan diriku sendiri, jangan-jangan aku yang belum bisa jadi seorang teman yang baik? Setiap hubungan yang sehat dan berusia panjang tentu harus resiprokal, dan dengan jalan hidup yang kupilih yang sok asik ini #halah #wkwk:
“Aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin hidup. Aku ingin melihat banyak tempat... Aku ingin menghirup seribu satu bau kehidupan.”
– Seno Gumira Ajidarma
Apa mungkin berdampak pada pertemananku? Hanya sedikit sekali yang mungkin bisa menerimaku dan oleh karena itu aku berterima kasih pada mereka yang tetap ada sampai sekarang. Aku juga berterimakasih kepada mereka yang pada akhirnya memutuskan untuk membuat jarak itu, dengan intensi dan harapan yang baik. Sebab dalam pertemanan paling dekatpun, kita tidak bisa menolong siapapun yang tidak ingin ditolong, termasuk hubungan yang sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Untungnya kegelisahanku soal pertemanan ini akhirnya berakhir ketika aku mengalami sendiri bahwa di usiaku yang sekarang aku tetap bisa menemui teman-teman dekat baru yang semoga hadir untuk waktu yang lama. Mereka yang mungkin bertemu karena nilai-nilai yang serupa, cara pandang terhadap dunia yang lebih bisa dikompromikan (karena tidak mungkin semuanya sama), juga intensitas emosi yang secara sepadan kita curahkan dalam hubungan timbal-balik ini. Aku bahkan menemukan sosok-sosok yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya di hidupku lewat teman-teman ini: sosok kakak perempuan yang mengayomi, adik perempuan yang bijaksana, kakak laki-laki yang aneh (?) tapi perhatian, dst. Mereka hadir menjadi keluarga yang aku pilih.
Menjadi bagian dari hari bahagia sahabatku. Foto: Ben Laksana
“Jadi pantat itu seharusnya dicebok ga pake sabun??” Diskusi sehari-hari yang sangat deep dan filosofis. Foto: Ben Laksana
Pandemi juga menyadarkanku akan sebuah keberuntungan, kemewahan, yang mungkin selama ini aku terima begitu saja tanpa banyak merenunginya: bahwa Ben adalah teman baikku dan kehadirannya yang konstan membuatku hampir tidak pernah merasa kesepian. Adikku cuma one video call away. Keluargaku selalu bisa aku andalkan jadi tempat aman untuk pulang. Hal-hal ini kini aku sadari penuh adalah sebuah keadaan yang luar biasa sebab mungkin, karena satu dan banyak hal, ada teman-teman yang belum bisa memperolehnya. Dua tahun ini aku sering mendapat pesan dari beberapa teman (lama maupun baru), bahwa mereka merasa kesepian, sendiri, kadang-kadang kosong, meski punya banyak teman. Ada kalanya aku terkesan mengerdilkan persoalan kesepian ini, karena terbutakan oleh kemewahan-kemewahan modal keluarga yang aku miliki, dan jika aku bisa memutar waktu aku ingin sekali meminta maaf atas ketidakpekaanku saat itu. Sungguh kesepian bukanlah perkara yang sepele. Terutama ketika begitu banyak orang muda yang mengalaminya di tengah bombardir ‘keterhubungan tanpa akhir’ di media sosial hari ini. Mengapa kita merasa sendiri di tengah keramaian? Bagaimana kita bisa secara bersama-sama mengurai kesepian kolektif ini? Apa yang bisa kita perbuat untuk menumbuhkan kembali hubungan-hubungan yang dalam dan bermakna di antara kita? Adalah sedikit dari banyak pertanyaan yang menjadi topik obrolanku dan teman-teman belakangan, dan jawaban-jawabannya, masih terus kita cari seiring berjalan.
Dalam diskusi-diskusi hingga tengah malam itu, kita bersepakat komunitas adalah salah satu kuncian penting untuk membantu kita menemukan teman, menjadi pegangan kecil dalam keseharian kita, mencari-menghancurkan-menemukan kembali arti hidup, dan yang terpenting, tidak merasa hidup adalah sebuah pertandingan orang-orang kalah yang harus kita jalani sendiri-sendiri. Tentu ada pertanyaan-pertanyaan lanjutannya: komunitas seperti apa? Komunitas yang dijalankan dengan bagaimana? Karena komunitas bisa juga jadi sumber racun dalam kehidupan seseorang. Tapi izinkan aku di sini berimajinasi soal komunitas yang sehat, inklusif, dan bisa menjadi ruang aman bagi siapapun yang tergabung atau sekadar mampir di dalamnya. Sebagai contoh, aku sendiri merasa hidup lebih hidup sejak di Jogja bisa terkoneksi kembali, secara fisik, dengan komunitas berkebunku. Tidak semua orang suka berkebun. Tidak semua orang juga suka mendengarkanku ngomongin hal-hal tentang berkebun haha. Di sana, aku merasa menemukan orang-orang yang sefrekuensi, dan yang terpenting tidak menghakimi jika aku melakukan kesalahan atau belum bisa menjalankan hidup yang 100% lestari—justru kita saling belajar dari kesalahan kita dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru.
Gotong royong ngegarap lahan tidur depan rumah di Jogja yang sebelumnya rimbun jadi tempat tinggal biawak dan ular. Dibantu oleh Omah Lor/Yayasan Bringin, tempatku belajar berkebun. Kita beri nama: Kebun Rukun.
Kalau kamu sendiri, apa komunitasmu? Atau mungkin, adakah imajinasi atas komunitas yang kamu dambakan? Seperti apakah kira-kira ruang aman itu buatmu? Kalau untuk aku, musikku sekarang sebagai hara beraspirasi menjadi sebuah bentuk ruang aman untuk kita bisa terhubung, dimulai dari ruang-ruang antara yang menghubungkan musisi, musik dan siapapun yang mendengarnya, ruang-ruang fisik seperti konser di mana kita bisa bertemu dan bertukar energi—mungkin sesekali foto, makan, masak dan ngobrol bareng, juga jurnal akar wangi ini yang maaf banget karena aku belum bisa lebih sering menulis di sini belakangan ini (btw, sekarang ada fitur komen di website, jika dirasa nyaman kalian bisa bertukar komentar di sini, tidak harus menunggu balasan dariku). Aku teringat surat-surat yang sangat menyentuh yang kalian kasih untukku setelah Tur Kenduri (aku membaca semuanya), aku teringat tatapan mata kita yang bertemu dan bertukar rasa secara tak sengaja saat sedang di panggung, juga cerita Nita yang datang sendiri menontonku di sebuah gig di Jakarta, tersedu saat Seroja lalu dipukpuk lembut oleh perempuan-perempuan yang duduk di sekitarnya. Aku bukan seorang juru selamat, tidak akan pernah menjadi itu, begitupula dengan musikku. Tapi aku percaya pada kekuatan musik dan seni dalam mengolah rasa dan menuntun kita mengalami hidup sepenuhnya.
Meski sudah berkecimpung di musik selama 10 tahun, aku baru bisa menemukan cara pandang yang lebih berarti dalam menjalani dan hidup bersama musik setelah dipertemukan dengan hara. Semoga, apapun manifestasinya, aku bisa turut berkontribusi menciptakan ruang aman untukmu dan untukku juga, barang lewat 2000 kata saja di jurnal akar wangi, 45 menit pertunjukkan di alam maupun di atas panggung besar, kelas masak, meramban, makan atau berkebun bareng, atau di manapun kita bisa bertemu (kecuali tiba-tiba minta foto pas ga sengaja ketemu di indomaret haha). Mungkin aku dan kamu bukan teman dekat yang bisa pikuniku di empang tiga kali seminggu sambil makan bekal ayam peri-peri masakannya Ben, tapi kehadiranmu juga kehadiranku sebagai kita adalah bukti bahwa kita tidak sendiri, dan bahwa kita pernah bersama, lebih dari sekadar bertukar sapa, sebagai teman, di ruang-ruang antara di mana kita telah bertemu.
Muka panik karena efek vokal mati sebelum manggung. Ternyata adaptornya ketuker sama punya Nosstress. Sebuah kolaborasi yang tidak perlu :'' Foto: Ben Laksana.
Melihat kalian lebih dekat. Dari sebuah panggung di Jakarta. Foto: Rangga Kuzuma
Selamat tahun baru! Mari kita mengawali tahun baru dengan hati yang penuh. Tahun ini adalah tahun yang aku dan Ben tunggu-tunggu. Ah, semoga waktu tidak terlalu tergesa-gesa dan masih menyisakan sedikit darinya untuk kita berjumpa.
Salam hangat dari sudut Studio Akar Wangi di Bogor,
hara
Waktu itu lagi ngobrol sama Sayang, kucing baru di Kongsi 8, sambil nunggu vegan gyoza buatan Nyai yang sangatlah lezat. Jatinegara, 2022. Foto: Ben Laksana
Merangkum Paruh Kedua Dua Ribu Dua Dua
Aku masih ambivalen soal posisiku dan keterlibatanku di media sosial. Aku bahkan udah coba main TikTok haha ternyata aku ga cukup kuat untuk itu. Sejujurnya, aku merasa masih belum bisa mendapatkan yang aku cari di media sosial. Tapi menghilang sepenuhnya juga ga memberi jawaban. Mungkin 2023 aku akan berusaha lebih banyak menulis di jurnal akar wangi dan sesekali menyematkan video-video pendek lagi di Youtube. Kita lihat nanti. Sementara itu, mungkin ada hal-hal yang terlewat olehmu karena algoritma atau apapun itu, berikut kabar hara di paruh kedua 2022 lalu. Siap-siap untuk karya-karya baru di tahun 2023 ya! ❤️
Halo Hara…
Menemukan tulisan disini adalah mewakili hal yang selalu ingin aku utarakan atau ingin aku tuliskan hanya saja selalu urung karena tak menemukan kata-kata yang pas.
Aku menemukan tulisan tentang pertemanan yang sangat mewakili apa yang aku jalani dan rasakan sekarang. Setelah menikah dan ikut suami di perantauan , lingkar pertemananku mulai menemukan angka terkecilnya. Bahkan sekarang aku hanya punya suamiku untuk bertukar cerita meskipun tak semua kurasa mampu kubagi dengannya. Yapp.. kami pasangan yang tidak romantis hahahaha..
Menenemukan tulisan ini seperti melihat apa yang sedang saya rasakan sekarang. Hal-hal yang ingin kusampaikan semua seperti nyata dalam tulisan tentang pertemanan itu.
Terima kasih ,Hara..
Haloo Hara
Aku baru menemukan jurnal akar wangi malam ini dan mulai membacanya dari bagian pertama hingga terakhir. terimakasih telah membagikan banyak sudut pandang dan emosi yang tertuang dalam tulisan-tulisanmu.
Oiya tahun baru kali ini aku tidak pulang kerumah, karna harus bertahan menyelesaikan skripsi di luar kota. yap benar semakin bertambah usia tahun baru hanya berpindah tahun dan lembaran kosong yang siap di isi tentunya. Tidak harus selalu ada perayaan didalamnya.
Selamat tahun baru Hara
aku akan selalu menantikan jurnal akar wangi selanjutnya :)