30 Juni 2024
Haloo,
Aku dalam adegan keseharian di ruang tamu/ruang kerja/dapur/ruang makan/tempat parkir sepeda/ruang tidur tamu. Wellington, Juni 2024. Photo by Ben Laksana.
Apa kabar?
Tak terasa sudah setahun lebih sejak aku pindah ke Selandia Baru! 20 Mei persisnya hari itu - aku selalu diingatkan Cikal akan tanggal ini. Tak terasa juga sudah hampir setahun lalu aku berbagi kabar di jurnal akar wangi yang sangat kusayangi ini. Ah, begitu banyak hal terjadi selama setahun ke belakang… Dari honeymoon phase, memasuki masa depresi dan kesepian, hingga akhirnya menerima bahwa realita ini adalah realita yang harus aku perjuangkan saat ini. Aku yakin banyak juga peristiwa di dalam hidupmu setahun ke belakang? Dan begitu gilanya, begitu indahnya, saat ini aku dan kamu masih hadir di sini, bertukar kabar dan (semoga) harapan tentang hidup yang masih mungkin diperjuangkan.
Masih ingat panggung pertamaku di Wellington? Alhamdulillah. Setelahnya aku mendapat undangan untuk manggung di beberapa festival di sini! Salah satu highlight dari panggung hara di musim panas lalu adalah undangan manggung di Camp A Low Hum. Sebagai orang yang tidak terlalu suka datang ke festival musik, aku bisa bilang kalau ini festival musik terbaik yang pernah aku datangi sepanjang hidupku! Tentunya terbaik untukku, yang tidak terlalu suka festival itu haha. Acara ini tanpa sponsor utama (apalagi sponsor rokok atau perusahaan oil & gas~), kurasi musik yang jenius, tempat yang spesial (di tengah hutan, boleh buka tenda, sarapan di dapur komunal!), panggung yang beragam dan menawarkan pengalaman musik dan ruang yang beragam pula, family-friendly, millennial-friendly (jompo muda dan lower backpainnya bisa tetap nyaman nonton show punk/hardcore sambil duduk di kursi kecil haha), bahkan ada festival di antara dua wiken festivalnya khusus untuk musisi berkolaborasi/semacam residensi bikin rilisan LP DIY yang covernya digambar sendiri, panggung open-mic (namanya Renegade) yang kadang lebih keren dari panggung officialnya, piano di depan laguna, dan obrolan-obrolan santai dengan kenalan-kenalan baru sambil nunggu antrean mandi pagi. Pengalaman manggung dan jadi penonton Camp A Low Hum selama dua akhir pekan itu benar-benar mengubah cara pandangku tentang musik dan pertunjukkan, terutama tentang apa yang aku benar-benar cari dari sebuah peristiwa musik. Konser-konser musisi idola yang aku tonton setelah Camp bahkan tidak ada yang se-berkesan Camp (padahal aku berkesempatan nonton Ben Howard, Explosions in the Sky, Arooj Aftab :’). Di sisi lain, Camp sangat menginspirasiku untuk menciptakan pengalaman musik yang lebih baik lagi! Jika ada tur yang aku rencanakan di masa depan aku bisa pastikan akan sangat terpengaruh dan terinformasikan oleh pengalamanku di Camp. Ah, jadi kangen Camp. Entah kapan bisa mengalaminya lagi (Camp terakhir sebelum awal 2024 itu 2014! Bersyukur banget bisa berjodoh dengannya di awal tahun ini). Terima kasih banyak hidup sudah memberikanku hadiah pengalaman ini di tahun ini ♥️
Camp A Low Hum yang sangat ~ suasana ~. Minggu kedua ditemenin adikku, Isyana. Wainuiomata, February 2024. Photos by Ben Laksana.
Selama paruh kedua 2023, aku bekerja paruh waktu sebagai tutor/teaching assistant di kampus. Karena bekerja 2-3 hari saja seminggu, aku masih dikaruniai kemewahan waktu untuk mengerjakan hal-hal musik di sela-selanya. Akhir tahun lalu aku akhirnya berhasil merekam dan merilis album Layar Terkembang, sebuah kapal kecil untuk merumahkan Sebuah Lagu Untuk Teman. Album bertemakan perpisahan ini seperti sisi lain dari album Kenduri. Jika Kenduri banyak mengulang mantra tumbuh, maka Layar Terkembang adalah perwujudan dari mantra gugur. Keduanya adalah satu kesatuan yang padu.
Aku juga sempat mengisi dan menulis beberapa lagu kolaborasi di akhir tahun lalu. Lagu-lagu ini belum dirilis tapi sepertinya tak lama lagi satu per satu dari karya-karya itu akan muncul. Lalu di akhir tahun dan awal tahun 2024, aku menulis sebuah lagu untuk film Dua Hati Biru. Ide lagu ini memang awalnya muncul hasil dari merespons kisah Bima dan Dara. Tapi seratus persen bisa aku jamin kalau lagu ini seratus persen aku pula. Sudah lama aku ingin menulis lagu tentang menjadi keluarga (Indonesia?) dan ketika akhirnya waktunya tiba, rasanya senang dan lega. Aku sangat suka dengan hasil akhir lagu Tak Ada Keluarga yang Sempurna. Jika ini adalah lagu terakhir yang aku rilis ke dunia, aku bahagia :)
Setelah mencoba konfigurasi kerja paruh waktu dan berkarya, ternyata in this economy, ini bukan langkah yang memungkinkan buat kami berdua sebagai perantau Jawa-Madura-Batak haha. Akhirnya (dengan berat hati) aku memutuskan untuk coba cari kerja kantoran penuh waktu untuk bisa menyambung hidup dan ketidakpastian yang menanti di tahun 2025. Setelah melamar sana sini, ditolak sana sini, per Maret 2024 ini aku mulai kerja kantoran, full time. Kini sudah tiga bulan berlalu dan aku tidak bisa bilang kalau bekerja penuh waktu adalah mode kerja yang paling tepat untukku hehe :’) Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan bekerja freelance, project-based, hanya fokus pada kerja-kerja kreatif saja. Aku sangat suka bekerja di mana currency utamanya adalah waktu (karena uangnya naik turun juga haha). Terakhir aku bekerja untuk sebuah institusi secara penuh waktu itu 10 tahun lalu (!) dan tentunya aku meninggalkan mode kerja seperti ini karena alasan yang sangat kuat (alias maaf, lambung aku tidak kuat). Tapi buat sekarang, mimpi awalku untuk kerja paruh waktu sambil tetap bisa mengerjakan kerja-kerja kreatifku tidaklah mungkin untuk dilakukan. Dengan segala tanggungjawab yang aku punya, adalah paling bijak untuk bekerja penuh waktu selama Ben melanjutkan studinya. Dan dengan kondisi ekonomi di sini yang sedang acak adut, funding cuts dan lay-offs yang menggila, aku tetap bersyukur masih bisa dapat kerja yang baik dengan orang-orang yang baik pula. (Ini Indonesia banget ga sih, tetep harus bersyukur apapun situasinya hahaha!)
Siap-siap pulang beres ngantor. Wellington, May 2024. Photo by Ben Laksana.
Lalu, apa ada dampak situasi kerja ini ke musikku? Banyak tentunya. The nature of the job kebetulan memang sibuk dan melelahkan secara mental dan fisik, ada minggu-minggu yang cukup intens, sehingga setiap akhir hari sejujurnya aku hampir tidak ada energi untuk ngapa-ngapain selain mandi dan sikat gigi. Akhir pekan aku hanya ingin jadi terong yang rebahan di sofabed haha. Tentunya aku masih bisa menyisipkan rutinitas yang sudah kubangun sejak pindah ke sini agar tetap waras: pilates seminggu sekali, berenang seminggu sekali (dua-duanya di gym kota yaa ft. lansia-lansia aktif yang bikin aku merenungi usia), sesekali mengunjungi Kebun Kai, dan terlibat di beberapa kegiatan komunitas.
Kebun Kai yang sedang memasuki era gulmanya. Maaf kami tidak terlalu doyan menanam di musim dingin! Ōwhiro Bay Community Garden, June 2024. Photo by Ben Laksana.
Masih jadi spot favorit di kota ini, terutama di pagi hari di musim dingin. Wellington, May 2024. Photo by Ben Laksana.
Di dua bulan pertama bekerja penuh waktu, aku hampir tidak pernah menyentuh alat musikku, tidak bernyanyi bahkan sempat mendengarkan musik secara seksama. Begitu banyak rilisan terbaru yang terlewati. Sebagai musisi, hidup tanpa musik itu rasanya sedih sekali. Akhirnya per Juni ini, aku mendapat sewaan ruangan untuk latihan rutin per dua minggu sekali di salah satu komunitas musik underground (tapi ruangannya upperground sih haha) di sini. Meskipun lelah dan dorongannya mengingatkan momen harus les musik waktu SD #cry, aku tergerak untuk menanamkan disiplin waktu buat hadir untuk musik, seberapa kecil dan terlihat tidak ‘produktifnya’ itu. Aku ingat kata-kata seorang teman musisi yang juga seorang yang sangat aku idolakan, dia bilang betapa pentingnya hadir dan setia pada waktu untuk musik untuk akhirnya musik bisa sepenuhnya hadir juga buat kita. Tiga kali sesi latihan sudah berlalu, aku masih menggunakan setiap sesinya untuk mengejar ketertinggalan beberapa karya, latihan untuk panggung di sini, dan di sesi latihan kedua aku mengajak seorang temanku yang seorang penari balet untuk sama-sama mendengarkan Slamet Gundono dengan volume paling kuenceng. Saat itu aku sedang sendu-sendunya dan di saat-saat terendahku, entah mengapa aku selalu terpanggil (atau dipanggil?) oleh suaranya.
Latihan pertama ditemenin Ben. Wellington, June 2024. Photo by Ben Laksana.
Kalau ditanya bagaimana kabar musik hara? Sebenarnya sedang sangat baik-baik saja! Mungkin di puncak-puncak kenikmatannya juga di masa pengendapannya. Aku sangat menyenangi setiap saatnya, mungkin ini juga yang membuat kerja penuh waktu seperti batu besar yang menghalangi jarak pandangku? Saat libur musim panas lalu, aku menyelesaikan sebuah kursus singkat mixing dan mastering. Beberapa tahun ini memang aku sedang mendalami production karena aku jatuh cinta dengannya. Setiap lagu menjadi ruang bermain yang mengasyikkan buatku. Tentunya sambil tetap berkolaborasi dengan mereka yang lebih ahli di bidangnya untuk bisa mendapatkan umpan balik tentang progresku. Aku juga pelan-pelan sedang ingin menjelajahi musik elektronik-eksperimental (semoga bisa diterima ya oleh masyarakat Indonesia haha). Di beberapa panggung hara di sini, aku seringkali menyisipi satu-dua karya eksperimental/improvisasi, baik solo maupun kolaborasi. Apresiasinya sangat baik dan bikin aku super semangat mendalaminya. Nah, beberapa bulan ini aku lagi tenggelam ke lubang hitam Youtube/reddit/instagram semesta synthesis! Gawat haha, aku telah menjadi “orang itu”. Sebagai hadiah ulang tahun ke diriku sendiri, aku akhirnya membeli Korg Volca Sample 2 bekas dari mas-mas Newtown, seorang hobbyist musik yang sepertinya lebih suka membeli gear ketimbang membuat lagu haha. Harganya hampir separuh dari harga baru - alhamdulillah, dan di siang yang dingin aku COD-an dengannya di kedai sandwich minimalis bernama good boy, kuterima volcanya dalam keadaan berdebu dan ditempeli stiker bernuansa industrial. Sesampainya di rumah kugosoklah volca itu selama 30 menit dan sejak hari itu aku mungkin sudah membuat sembilan sketsa lagu dustak-dustak dan/atau gaung-mengawang, amunisi baru untuk era baru hara maupun huru, haha! Setelah berjodoh dengan volca dan memulai rutinitas latihan dua mingguan itu, ternyata si hara dalam diri ini tumbuh kembali. Aku menemukan diriku di beberapa malam jelang purnama lalu sedang gigitaran di atas ranjang tamu sampai tengah malam. Dalam seminggu, dua lagu baru lahir dan tepat di momen itu aku merasa tidak ada yang bisa sepenuhnya memisahkanku dengan musik.
Foto bersama Arindam Sen dan Karnan Saba, kolaborator di panggung hara di Open Late pada 6 Juni lalu. Panggung yang seru. Beberapa penonton wajahnya familiar, sepertinya mereka selalu datang setiap ada panggung hara :) Terharu. Wellington, June 2024. Photo by Ben Laksana.
Namun bohong jika aku bilang bahwa keputusan untuk tidak bisa memberikan sepenuh waktu dan diriku untuk musik dan kerja-kerja kreatif, tidak membuat hatiku retak, yaa sedikitlah hehe. Tak jarang aku sedang menemukanku melamun saat sedang membaca buku tentang tanaman obat dan pohon-pohon leluhur, mengenang kehidupanku yang lalu, mengimajinasikan sedang residensi di sebuah studio merangkai sebuah album konsep dengan riset antropologi lingkungan yang baru kubaca, atau sekadar bisa berjam-jam di depan laptop membuat sepuluh demo lagu yang akhirnya menjadi sebuah soundtrack film. Tapi mungkin saat ini, pilihan ini adalah yang terbaik untuk semuanya (daritadi berusaha meyakinkan diri haha). Lagipula, kadang aku berpikir, apa boleh aku mengeluh dan misuh-misuh ketika in the grand scheme of things, aku itu baik-baik saja? Apalagi kalau aku melihat kembali dunia saat ini dengan segala duka deritanya, sepertinya tidak layak untuk terlalu larut dalam kesedihan yang tak perlu ini. Tapi Ben bilang rasa sedihku itu ya valid aja, begitupula dengan kesadaranku untuk konsekuen dengan pilihan hidup yang telah kupilih saat ini dan menjalaninya dengan sebaik-baiknya.
Pastinya, sebagai pribadi Asia Tenggara yang tidak mau sepenuhnya dikalahkan dunia, aku mencoba bersiasat untuk tetap menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil setiap harinya. Dengan tabungan dari hasil menulis lagu untuk film, tabungan dari gaji beberapa bulan pertamaku bekerja, aku membeli sepeda! Ini adalah pembelian barang berharga pertamaku sejak pindah ke Wellington. Awalnya aku kasih nama sepedaku Okibi, singkatan dari OKB (Orang Kaya Baru) karena kata Ben aku kayak OKB pas beli sepeda itu hahaha. Tapi teman baikku, Gichie, bilang sepedaku warnanya lucu seperti telur asin Brebes. Aku suka nama panggilan itu. Jadi namanya sekarang si telur asin Brebes.
Bersama telur asin Brebes dan sepeda Ben yang baru separuh lunas beli lungsuran dari Bram, kami moyan sambil nongkrong di waterfront, menonton warga yang sedang membunuh waktu dengan memancing. Wellington, June 2024. Photo by Ben Laksana.
Aku sangat suka bersepeda. Setiap kali aku bersepeda aku merasa bebas, bahagia, bahkan saking bahagianya suka ingin menitikkan air mata haha. Mungkin karena masa kecilku dekat dengan sepeda. Kata Ibu, waktu kecil aku suka dibonceng Opa keliling kompleks naik sepeda, lihat sawah di belakang rumah kita. Waktu SD ikut Bapa lanjut sekolah di Belgia, aku pernah minta izin ke Ibu dan Bapa untuk ikut ekskursi naik sepeda. “Berapa jauh emang naik sepedanya?” “Empat kilo katanya!” “Wah seru, oke boleh.” Ternyata ekskursinya 40 km bjir, naik sepeda ke laut lalu kembali ke kota! Hahaha. Aku inget aku mau pingsan separuh jalan tapi karena terlalu gengsi untuk mengakuinya [Jawa Timur style~], aku kuat-kuatin aja. Sampai rumah badanku njarem semingguan kayaknya haha. Aku sangat suka bersepeda. Meskipun sekarang bersepeda ke kantor separuh dari perjalanannya harus perlahan menanjak ketinggian 82 meter, setiap perjalanan pulang seusai hari yang melelahkan atau menjengkelkan, aku turun melewati mobil-mobil yang terjebak kemacetan kecil, meluncur dengan kencang sambil berteriak “Wiii! Wiii! Wiii!”. Aku sangat suka bersepeda. Dua hari lalu aku dan Ben bersepeda dari Waikanae ke Ōtaki, mengunjungi rumah teman kami, Rosa, dalam rangka merayakan tahun baru Māori, Matariki. Kami naik kereta dulu dari kota lalu lanjut bersepeda dari sana. Total jaraknya kira-kira 50 km pulang pergi. Kami sempat mampir sebentar ke laut dulu sebelum ke rumah Rosa. Aku jadi ingat peristiwa bersepeda di Belgia. Aku sangat suka bersepeda.
Kalau buat kamu, apa hal kecil (mungkin melekat dari masa kecil) yang membuatmu bahagia?
Wiii! Wellington, June 2024. Photo by Ben Laksana.
Selain kerja, tantangan yang baru-baru ini aku rasakan adalah tentang hidup di dua dunia. Aku jadi ingat salah satu adegan di dokumenter Eksil, salah seorang eksil 1965 di film tersebut bilang, kira-kira seperti ini, “Eksil dari negara lain di sini mereka aktif bergabung dengan politik lokal negara ini, eksil Indonesia, hal pertama yang mereka baca setiap paginya adalah Harian Kompas.” Aku tentu bukan seorang eksil, hanya seorang bunda-bunda imigran menemani paksu melanjutkan studi estiganya. Meskipun tubuh kami berdiri di atas tanah milik tangata whenua (people of the land), tak ada hari tanpa memikirkan dan merasa (dan marah-marah) untuk Indonesia. Sesekali kami mencoba membantu beberapa komunitas di sini, tapi tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan posisi komunitas dan teman-teman kami di Indonesia. Berapa puluh kali aku dan Ben membicarakan bentuk Benang Merah Podcast yang bisa kami kompromikan dengan kesibukan di sini (belum ketemu nih bentuknya, maaf), mencoba tetap bertukar kabar dengan teman-teman komunitas lewat video call dan chat, bahkan ketika aku menulis lagu, aku selalu menulis tentang manusia Indonesia. Dalam pikiranku, tak sabar membagikannya untuk pendengar hara di Indonesia! Kadang aku kepikiran sih, eh kan udah ada nih yang datang ke panggung hara di Wellington pake merchandise hara, apa aku perlu bikin lagu yang rada ~ go internasional ~ ya? Hahaha (((to move ~ go gurl ~))). Tapi rasanya tak ada hal yang lebih mengusik rasa daripada menjadi manusia Indonesia, jadi untuk sementara waktu, aku ingin terus menulis tentang rasa ini kepada dunia.
Aksi untuk Palestina di kampus. Victoria University of Wellington, May 2024.
Sejujurnya, aku masih belum tahu bagaimana nantinya aku bisa membagi diri ke dua dunia. Aku sebenarnya tidak ingin hidup di antara. Namun saat ini ya beginilah adanya. Tapi tenang… pasti selalu ada ruang dan kesempatan untuk bersiasat dan menemukan formulanya. Kamu sendiri pernah mengalami hal yang serupakah? Siapa tau kamu malah sudah tahu apa jawabnya?
Selain itu, belakangan aku juga sedang banyak memikirkan tentang arti bahagia untuk anak muda. Bekerja dengan anak muda (muda di sini sekitar 17-25 tahun) bikin aku tersadar tentang betapa bedanya dunia kita. Tantangan zaman sekarang begitu banyaknya, terhimpit tekanan dari luar maupun dalam diri, kemungkinan (dan keterpaparan akan kemungkinan-kemungkinan itu) yang semakin berlimpah namun akses dan kemampuan yang tidak sama rata, berita genosida dan duka yang datang lebih sering dan lebih kencang dari detak nadi, krisis iklim yang sudah di depan muka, tiap hari makan konten orang-orang kaya yang giat pamer harta, terjerat pinjol akhirnya bekerja sebagai penagih hutang pinjol juga, keinginan untuk hidup biasa-biasa saja tapi juga malas untuk melakukan apa-apa termasuk hal-hal yang biasa. Kalau dulu orang bilang masa terindah adalah masa muda, kok sekarang rasanya menjadi muda adalah sebuah derita ya? Bagaimana rasanya jadi muda hari ini? Tentu ini bukan generalisasi yang absah ya, impresiku ini muncul karena mungkin aku lebih sering bekerja dengan mereka yang kalah. Bagi anak muda yang beruntung, hidup ya baik-baik saja: dapat beasiswa negara, keliling dunia, followers sejuta, jadi duta cinta lingkungan/anti-narkoba, ga pernah ada di posisi yang perlu peduli dengan misal isu petani Pakel atau Papua, makan nasi banyak tapi ga pernah naik berat badannya, dst dst. Semoga aku salah dan ternyata menjadi muda masih mungkin bahagia. Kalau buat kamu sendiri, apa sih arti bahagia? Hmm, apa pertanyaan ini masih penting untuk ditanya ya?
Sore ini terik dan berangin. Seribu hari lalu Mas C pergi gugur lalu tumbuh menjadi bunga seroja. Keluarga sehat dengan sesekali ada bumbu drama. Ben masih mencoba mempertajam bab teorinya. Besok hari Senin, aku kembali mengurusi mahasiswa muda dan tidak terlalu muda. Saat ini aku sedang sedang membaca worm, root, wort… bane karya Ann Shelton, sedang sering mengulang-ulang sebuah lagu kolaborasi yang kurekam tahun lalu tapi sepertinya akan rilis tak lama lagi (!) - tidak sabar untuk kalian mendengarnya. Aku juga merayakan rilisnya lagu terbaru Isyana, “Aku Rindu”, di mana aku turut serta merangkai liriknya. Beberapa waktu lalu aku mengunjungi kembali video live Trees and The Wild di kanalnya Vincent Moon (salah satu video favoritku di dunia) dan lalu terpukau oleh video ini:
Awal bulan ini aku bisa menyaksikan Tiny Ruins, band Kiwi favoritku secara live di tengah kebun kota, dan menangis saat Me At The Museum, You In The Wintergarden dimainkan.
Aku sedang menabung untuk bisa melihat dari dekat salah satu gunung paling sakral di sini, Gunung Taranaki. Baru seminggu ini aku menanam benih mint di pot untuk menemani lima tanaman lainnya di kantor. Masih merenungi kado yang paling tepat untuk ulang tahun Ben sebentar lagi (barang yang dia perluin atau pengalaman seru yang once in a lifetime?) Kadang masih berandai-andai, kapan ya aku bisa pulang? Fuko, apa kabar? (setiap videocall dia ga ngerti, dasar anjing~). Juga senang melihat Ben kembali ke fotografi analog. Ini beberapa foto-foto BWnya dengan kamera point & shootku:
Sedang mengagumi warna lilac-indigo muda (sebelumnya sedang di era crazy sage green lady parah agak sakit kayaknya). Sangat menikmati bekal roti isi spicy pickle dan tuna. Mengambil jarak dan jeda dari social media. Terus mencoba menjadi manusia penuh amarah, sedih, kecewa yang masih bisa bahagia.
Hidup terus berjalan. Terus berjalan. Sementara ini di dua dunia.
Salam hangat dari sofabed hijau muda,
hara
Kabar hara
Sebuah Lagu Untuk Teman (A Song for a Friend) (live in the garden), ketika kebun sedang mekar-mekarnya.
Layar Terkembang (With Sails Unfurled) EP (full album stream), untuk menemani malam tilem atau jelang purnama.
Menyusun playlist berisi lagu-lagu dari album Layar Terkembang dan lagu-lagu lain yang menemani pelayarannya:
Tak Ada Keluarga yang Sempurna (Official Lyric Video) berkolaborasi dengan teman baikku, Rangga Kuzuma:
Playlist lain untuk merumahkan lagu-lagu yang mengingatkan akan harum rumah keluarga:
Live sessions bersama teman-teman
Improvisasi bersama Zosha Warpeha (Live at Atlantic Centre of the Arts, Florida)
Rendisi Seroja paling menyayat: Seroja ft. Tsendsuren Enkhtur pada khuucir:
Ada juga rekaman live rendisi terbaru Seroja, direkam dengan handycam, dan foto di bawah ini yang sangat anjai~ Pertama kali main gitar listrik pinjaman punya Karnan. Panggung terakhir hara. Seru juga <3
kakkk thanks berat udah menulis jurnal akar wangi ini. sungguh aku rindu membaca blog atau tulisan panjang lagi. karena sekarang kebanyakan cuma menulis di media sosial aja. membaca blog rasanya lebih utuh, lebih menyeluruh.
tulisannya bagus banget, relate di banyak bagian. apalagi di part hati yang retak. bikin aku merenung seharian ini. ternyata aku gak sendiri. ternyata retaknya hati itu jadi bagian dari tiap dewasa, gak cuma aku saja.
makasih ya kak udah berbagi. semoga bisa menulis dengan konsisten karena aku akan menunggu tulisan2nya, mungkin teman2 lainnya juga. sehat dan bahagia senantiasa ya kak rara \m/
Mbak Rara, panjang juga ya edisi jurnal kali ini, hahaha. Hugs from here-untuk kesedihan dan kebahagiaan. Selalu terpukau dengan gaya tulisanmu, pun dengan apa yang ditulisnya. Tentang sepeda, jadi inget, dua tahun lalu Tur Kenduri. Melihatmu terkoneksi dengan musik dan alam (dan juga sepeda) rasanya cukup magis.
"kayuh pelan, sebab hidup terlalu singkat untuk diburu-buru."
Semoga apapun yang sedang diusahakan tersemogakan ya. Gas!
Salam hangat,
Rimi